Media seperti radio juga tidak luput dari kekeliruan, hingga menimbulkan hoaks.
Misalnya, pada 5 November 1991, program ABC World News Tonight bersama Peter Jennings melaporkan penjualan mayat Vladimir Lenin karena Rusia disebut sedang mengumpulkan uang.
USA Today juga memuat cerita serupa, yang kemudian dibenahi.
Media tentu saja harus lebih menghadirkan pemberitaan yang akurat dan terverifikasi, karena artikel yang salah dapat menjadi sumber peredaran hoaks di masyarakat.
Baca juga: Kominfo Paparkan Sebaran Hoaks Covid-19 dan Vaksin Selama Sepekan
Hoaks di internet lebih mudah dibuat daripada di media cetak, karena kini siapa pun dapat membuat halaman web atau mem-post berbagai informasi ke blog.
Unggahan yang tak terhitung jumlahnya di internet tak jarang memuat berita dan kolom yang tidak akurat, termasuk tipuan yang disengaja.
Istilah hoaks semakin populer saat momentum Pemilihan Presiden Amerika Serikat atau Pilpres AS pada 2016.
Mengutip Polifact yang diunggah 1 April 2020, Donald Trump melontarkan kata hoaks jauh sebelum dia memenangkan pilpres pada 2016.
Para ahli ilmu politik mengatakan, pengulangan kata sederhana seperti "hoaks" adalah cara Trump untuk menggambarkan dirinya sebagai korban dan memobilisasi dukungan untuk kampanye politiknya.
"Trump mencoba untuk merusak kepercayaan dari sumber mana pun kecuali dirinya sendiri," kata profesor ilmu politik di Universitas Stanford, Margaret Levi.
Trump telah melontarkan kata-kata itu sejak sebelum dia menjabat.
Menurut analisis Twitter dan Factba.se, situs web interaktif yang melacak komentar publik dan tweet, Trump telah menggunakan kata "hoaks" lebih dari 600 kali sejak awal ketenarannya.
Awalnya dia menggunakan kata "hoaks" untuk menepis pemberitaan tentang pemanasan global, yang sering dia sebut sebagai "tipuan mahal".
Trump juga telah berulang kali menggunakan kata "hoaks" untuk menggambarkan proses pemakzulan dan tuduhan pelanggaran pilpres, termasuk saat konferensi pers Gedung Putih 31 Maret 2021 tentang virus corona.