Dalam perkembangan awalnya, hoaks muncul melalui pemberitaan di surat kabar.
Kebanyakan adanya informasi keliru itu hadir dalam bentuk artikel yang disajikan tanpa ada verifikasi dari pihak yang terkait atau ahli terkait.
Misalnya, ketika media memberitakan pernyataan Benjamin Franklin yang menyebut bahwa obat yang dibuat dari zat "Batu China" dapat menyembuhkan rabies, kanker, dan sejumlah penyakit lainnya.
Pernyataan itu ditulis apa adanya, tanpa ada penjelasan dari ahli terkait. Faktanya, kemudian diketahui bahwa batu-batu itu terbuat dari tanduk rusa dan tidak memiliki kemanjuran sebagai obat.
Hoaks kemudian semakin berkembang ketika digunakan dalam bisnis pertunjukan. Salah satunya diperlihatkan oleh Phineas Taylor Barnum.
PT Barnum yang kemudian dikenal sebagai The Greatest Showman, menipu banyak orang dengan pertunjukan semacam "freak show", yang ternyata hasil manipulasi.
Di lokasi pertunjukan yang dinamakan Barnum's American Museum, PT Barnum menampilkan makhluk, tokoh, hingga penemuan unik yang dikemas serupa sirkus yang menarik ribuan pengunjung setiap harinya.
Kendati demikian, tipuan itu diwarnai rasisme dan penyiksaan hewan. Tipuan hebat Barnum menjadi contoh konkret bagaimana publik mudah dan senang ditipu.
Di era informatika
Perkembangan hoaks tentu saja semakin berputar cepat saat teknologi informasi berkembang seperti sekarang.
Semakin hari, masyarakat membutuhkan informasi yang lebih cepat. Selain surat kabar, majalah, radio, televisi, kini pemberitaan bisa dengan mudah diakses melalui internet.
Hoaks mulai disebarkan melalui platform digital. Namun, pemberitaan masih tetap tak luput dalam menyebarkan hoaks.
Misalnya, pada 5 November 1991, program ABC World News Tonight bersama Peter Jennings melaporkan penjualan mayat Vladimir Lenin karena Rusia disebut sedang mengumpulkan uang.
USA Today juga memuat cerita serupa, yang kemudian dibenahi.
Media tentu saja harus lebih menghadirkan pemberitaan yang akurat dan terverifikasi, karena artikel yang salah dapat menjadi sumber peredaran hoaks di masyarakat.
Hoaks di internet lebih mudah dibuat daripada di media cetak, karena kini siapa pun dapat membuat halaman web atau mem-post berbagai informasi ke blog.
Unggahan yang tak terhitung jumlahnya di internet tak jarang memuat berita dan kolom yang tidak akurat, termasuk tipuan yang disengaja.
Efek Donald Trump
Istilah hoaks semakin populer saat momentum Pemilihan Presiden Amerika Serikat atau Pilpres AS pada 2016.
Mengutip Polifact yang diunggah 1 April 2020, Donald Trump melontarkan kata hoaks jauh sebelum dia memenangkan pilpres pada 2016.
Para ahli ilmu politik mengatakan, pengulangan kata sederhana seperti "hoaks" adalah cara Trump untuk menggambarkan dirinya sebagai korban dan memobilisasi dukungan untuk kampanye politiknya.
"Trump mencoba untuk merusak kepercayaan dari sumber mana pun kecuali dirinya sendiri," kata profesor ilmu politik di Universitas Stanford, Margaret Levi.
Trump telah melontarkan kata-kata itu sejak sebelum dia menjabat.
Menurut analisis Twitter dan Factba.se, situs web interaktif yang melacak komentar publik dan tweet, Trump telah menggunakan kata "hoaks" lebih dari 600 kali sejak awal ketenarannya.
Awalnya dia menggunakan kata "hoaks" untuk menepis pemberitaan tentang pemanasan global, yang sering dia sebut sebagai "tipuan mahal".
Trump juga telah berulang kali menggunakan kata "hoaks" untuk menggambarkan proses pemakzulan dan tuduhan pelanggaran pilpres, termasuk saat konferensi pers Gedung Putih 31 Maret 2021 tentang virus corona.
Terlepas dari apa maksud politik di baliknya, klaim Trump tentang "hoaks" saat membicarkan Covid-19 membawa risiko yang berbeda dan jauh lebih berbahaya dari sekedar polarisasi politik.
Matthew Kavanagh, asisten profesor kesehatan global di Universitas Georgetown mengatakan, penggunaan kata "hoaks" oleh Trump dalam konteks virus corona sangat berbahaya.
Ucapannya bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap media dan pejabat publik yang berupaya menanggulangi pandemi Covid-19.
Menurut Kavanagh, kepercayaan publik berperan besar dalam penanganan pandemi.
"Keberhasilan melawan pandemi tergantung pada orang yang percaya dan mematuhi saran pejabat kesehatan masyarakat seperti yang terlihat melalui media," kata dia.
Selain masalah politik, hoaks juga muncul di media sosial melalui beragam topik. Ada yang sekedar parodi atau konteks keliru yang tidak membahayakan.
Namun, ada pula yang menggunakan hoaks sebagai scam, pencurian data pribadi, hingga kampanye hitam. Tidak sedikit dari hoaks itu yang menyesatkan, merugikan, bahkan membahayakan.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/17/093100482/sejarah-hoaks-iii---kekeliruan-di-era-informatika-dan-efek-donald-trump