KOMPAS.com - Ketidaksukaan, kebencian, dan sentimen memengaruhi seseorang untuk mengolah informasi yang diterima, termasuk hoaks.
Dalam teori psikoanalisis jiwa manusia dalam tiga bagian, yakni id, ego, dan superego.
Pikiran sadar manusia terdapat dalam bagian ego, tetapi besarnya hanya 12 persen dari seluruh jiwa manusia.
Sementara, 88 persen sisanya merupakan id dan superego yang beiri tumpukan informasi yang didapat dari situasi tertentu, ingatan masa lalu, pengalaman traumatis, dan sejenisnya yang memiliki intensitas emosi.
Ilmuwan psikologi yang kerap disebut Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud mengungkap bahwa individu mudah terpancing secara emosi pada topik-topik yang mengikat alam bawah sadar.
"Kita perlu menyiapkan strategi agar kesadaran yang di atas memfilter dulu agar informasi yang diterima tidak sampai masuk ke bawah sadar," kata dosen Ilmu Komunikasi President University, Haris Herdiansyah, saat webinar 'Memahami Fenomena Misinformasi dan Disinformasi dari Perspektif Psikologi' Selasa (24/10/2023).
Adapun kesalahan berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi terjadi karena bias kognitif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Padahal informasi tersebut belum tentu benar.
Dalam webinar yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tersebut, Haris mengungkapkan ada tiga bias kognitif yang memengaruhi penerimaan informasi individu.
Apa saja bias-bias tersebut?
1. Bias konfirmasi
Manusia cenderung mendukung dan mempercayai informasi yang sejalan dengan informasi yang diadopsi di alam bawah sadarnya.
"Jadi dia hanya akan mengiyakan dan mengafirmasi apa kata media sesuai dengan warna sikapnya. Sementara, belum tentu warna sikap yang dia miliki dan media yang dia baca itu adalah sebuah kebenaran," ucap Haris.
Sehingga, dia gagal mencari informasi yang obyektif karena sejak awal telah menolak informasi yang bertentangan dengan yang dia percayai.
Bias konfirmasi juga dapat menggiring individu pada cara dia menafsirkan informasi.
Misalnya, meski informasi yang didapat merupakan fakta, tetapi diterima secara keliru berdasarkan sesuatu yang dia percayai.
2. Availability bias atau bias kesediaan
Availability bias atau availability heuristic terjadi ketika manusia membuat keputusan berdasarkan contoh, informasi, atau pengalaman yang ada.
Namun, informasi atau pengalaman tersebut terbatas dan belum tentu benar sehingga terjadi bias.
Lantas, tidak ada informasi tandingan atau sanggahan dari penggalan informasi yang diterima.
"Informasi kecil yang dia dapat tidak pernah dikonfirmasi kebenarannya," ujar Haris.
Individu tersebut kemudian menjadi percaya, karena keterbatasan informasi.
Misalnya, seseorang mendapat informasi ciri penyakit jantung yakni jantung berdetak cepat. Lalu ketika dia merasakan jantung berdetak cepat, dia langsung menyimpulkan dirinya mengalami penyakit jantung.
3. Kesalahan logika
"Ini yang paling sering digunakan oleh para pembuat hoaks, slippery slope fallacy. Yaitu kesalahan logika berpikir yang terjadi ketika seseorang mengeklaim bahwa satu tindakan atau satu kejadian akan menyebabkan rangkaian peristiwa lainnya" pungkas Haris.
Para pembuat hoaks memanfaatkan kesalahan logika untuk menggiring opini publik dan menyebabkan ketakutan.
Contohnya, perintah dari orangtua untuk sarapan sebelum sekolah. Bila tidak sarapan, anak tidak dapat menangkap pelajaran di kelas, lalu gagal dalam ujian, tidak lulus, sulit mencari pekerjaan, sampai terkurung dalam kemiskinan.
Perintah itu bermaksud baik, tetapi dinarasikan dengan efek domino dan ketakutan.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/10/25/111700682/macam-macam-bias-yang-menggiring-pada-penyebaran-hoaks