Isitilah ini dimanfaatkan secara politis oleh salah satu kubu capres, untuk mendiskreditkan berita yang bertentangan dengannya.
Penggunaan istilah "berita palsu" berpotensi membawa krisis bagi jurnalisme. Terutama ketika istilah ini diartikan dengan lugas.
Ini karena "berita" dalam jurnalisme berarti informasi yang telah terverifikasi kebenarannya dan diterbitkan untuk kepentingan publik.
Informasi yang tidak memenuhi standar ini tidak layak diberi label berita.
Dalam pengertian ini, "berita palsu" jadi sebuah hal yang oksimoron dan bisa merusak kredibilitas informasi yang memang memenuhi disiplin verifikasi dan diperuntukkan bagi kepentingan publik.
Membingungkan bagi publik
Melansir buku Journalism, "Fake News" & Disinformation (2018) terbitan UNESCO, "berita palsu" merupakan salah satu ragam dari sebaran informasi palsu.
Dalam konteks disinformasi dan misinformasi saat ini, bahaya utamanya bukanlah jurnalisme yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi publik yang menjadi bingung dan tidak percaya pada semua konten, termasuk jurnalisme.
Penyebar teori konspirasi kerap menuding media sebagai antek atau tidak independen, demi membenarkan narasi mereka.
Meskipun arena utama disinformasi adalah media sosial, aktor-aktor berpengaruh menggunakan istilah "berita palsu" untuk menekan media yang menyuguhkan "berita asli".
Dengan skenario semacam ini, orang kemudian cenderung menganggap kredibel konten apa pun yang mereka peroleh dari jejaring sosial mereka, serta yang sesuai dengan keinginan mereka.
Contoh paling konkret yakni berkurangnya kepercayaan publik terhadap informasi kesehatan dan ilmu pengetahuan terkait pandemi Covid-19.
Dimanfaatkan untuk kampanye politik
Dampak lainnya, istilah "berita palsu" digunakan sebagai alat meraih kesusksesan dalam pemilu.
Biasanya disinformasi muncul selama jajak pendapat antarcalon. Pendapat yang mereka sampaikan memang tidak serta merta meyakinkan publik untuk percaya bahwa isinya benar, tetapi berdampak pada penetapan agenda dan memperkeruh arus informasi karena menghina rasionalitas.
Menurut A Short Guide to The History of "Fake News" and Disinformation terbitan ICFJ, istilah "fake news" semakin populer saat pilpres AS 2016.
Salah satu "berita palsu" yang beredar semasa pemilu AS adalah tudingan kekerasan seksual terhadap Hillary Clinton, lawan politik Donald Trump pada pilpres AS 2016.
Pada masa sebelum dan sesudah pilpres AS, orang-orang membagikan "berita palsu" ini setiap hari di Twitter, hampir sebanyak "berita asli".
Mendatangkan untung besar
Jelang hari H pemilu, media internasional mengungkapkan bisnis troll yang dijalankan oleh remaja di kota kecil Veles di Bekas Republik Yugoslavia Makedonia.
Ditemukan ada lebih dari 100 situs web pro-Trump yang mendorong informasi palsu menyebar. Sumber situs ini terdaftar di Veles.
Satu operator bisa menghasilkan 16.000 dollar AS dalam tiga bulan terakhir kampanye.
Konten tersebut termasuk cerita palsu yang viral tentang Paus Fransiskus yang diklaim mendukung Donald Trump.
Operator situs itu bahkan mendapat untung besar dari mesin iklan otomatis, seperti Google AdSense.
Namun, bisa dilihat dengan jelas siapa yang paling diuntungkan dengan adanya bisnis troll ini.
Pernyataan sikap organisasi internasional
Drama "fake news" tidak berhenti sampai di situ. Setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden, dia terus menyebarkan frasa "berita palsu".
Dia memakai istilah itu untuk mendiskreditkan pemberitaan media yang bertentangan dengan kebijakannya.
Istilah itu mulai menyebar secara global, sehingga politisi dunia lainnya juga menyebarkan ungkapan itu secara sengaja terhadap jurnalis dan organisasi jurnalistik.
Pada awal 2017, sebuah pernyataan bersama dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Perwakilan OSCE untuk Kebebasan Media, Pelapor Khusus Organisasi Negara-Negara Amerika untuk Kebebasan Berekspresi, dan Komisi Afrika untuk Kemanusiaan dan Pelapor Khusus Hak-Hak Rakyat untuk Kebebasan Berekspresi dan Akses Informasi.
Gabungan organisasi internasional ini mengungkapkan kekhawatiran atas penyebaran disinformasi, propaganda, dan serangan terhadap media sebagai "berita palsu".
Berikut cuplikan pernyataan mereka:
(Kami) khawatir pada saat otoritas publik merendahkan, mengintimidasi dan mengancam media, termasuk dengan menyatakan bahwa media adalah “oposisi” atau “berbohong” dan memiliki agenda politik tersembunyi, (berpotensi) meningkatkan risiko ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis, merusak kepercayaan dan keyakinan publik terhadap jurnalisme sebagai pengawas publik, dan dapat menyesatkan publik dengan mengaburkan batas antara disinformasi dan produk media yang berisi fakta yang dapat diverifikasi secara independen.
Istilah "fake news" masih digunakan hingga kini.
Terlepas dari pengertertiannya, menyuguhkan informasi yang terverifikasi adalah fokus utama dari setiap berita.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/22/160600482/menelusuri-istilah-fake-news-dan-imbasnya-pada-jurnalisme-