KOMPAS.com - Pernyataan petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menyebut bahwa kuliah bersifat tersier menuai polemik di masyarakat.
Pernyataan tersebut terlontar dari mulut Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, saat merespons mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN).
Tjitjik menyampaikan, pendidikan tinggi hanya ditujukan untuk lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah yang berkeinginan mendalami suatu ilmu secara lebih lanjut.
Namun, ia menilai bahwa tidak semua lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah harus melanjutkan studinya ke perguruan tinggi karena hal ini bersifat pilihan.
“Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar,” ujarnya dikutip dari Kompas.com, Rabu (15/5/2024).
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyoroti pernyataan Tjitjik yang menyebutkan bahwa kuliah sifatnya adalah tersier.
Ia menilai bahwa ucapan tersebut tidak seharusnya dilontarkan karena pemerintah memiliki tugas untuk memenuhi pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia.
“Sangat disesalkan. Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah. Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (17/5/2024).
Terkait pernyataan Tjitjik, Hetifah menyampaikan, pemerintah seharusnya menyambut keinginan masyarakat yang tinggi akan pendidikan.
Pemerintah, lanjut Hetifah, sejatinya juga harus membagi rata anggaran negara kepada seluruh sektor penting, termasuk pendidikan.
“Apabila hasrat masyarakat untuk memajukan diri melalui pendidikan tinggi semakin meningkat, seharusnya pemerintah responsif untuk menyaranainya dengan kebijakan yang sesuai,” ucap Hetifah.
Baca juga: Penjelasan UI soal UKT yang Mencapai Rp 161 Juta
Kecaman atas ucapan Tjitjik juga disampaikan oleh pengamat pendidikan Ubaid Matraji yang menilai bahwa menempatkan kuliah sebagai kebutuhan tersier adalah kesalahan besar.
Ia tidak sependapat dengan ucapan Tjitjik karena hal ini dapat melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa yang ingin berkuliah.
“Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar,” katanya kepada Kompas.com, Jumat.
Menurut Ubaid, jika kuliah dipandang sebagai kebutuhan tersier, negara seharusnya bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang masuk program wajib belajar selama 12 tahun.