Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Rendahnya Pernikahan di Indonesia: Antara Pergeseran Paradigma dan Menguatnya Gejala "Waithood"

Kompas.com - 09/03/2024, 09:30 WIB
Diva Lufiana Putri,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Angka pernikahan di Indonesia pada 2023 dilaporkan mencapai titik terendah selama lebih dari seperempat abad, tepatnya sejak 1996/1997.

Sebaliknya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka perceraian di Tanah Air pada tahun lalu terpantau tertinggi kedua dalam kurun waktu bersamaan.

BPS mencatat, 1,49 juta pasangan melangsungkan pernikahan pada 1996/1997. Jumlah ini fluktuatif hingga mencapai angka 2,21 juta pasangan pada 2013 dan 2,11 juta pasangan pada 2014.

Sempat turun, angka pernikahan kembali naik pada 2018 dengan total 2,01 juta pasangan. Namun, sejak itu, pernikahan tercatat turun secara signifikan.

Pada 2019, BPS melaporkan ada 1,96 juta pasangan menikah. Jumlahnya kembali turun pada 2020 menjadi 1,78 juta pasangan, diikuti pada 2021 dengan 1,74 juta pernikahan, serta 2022 dengan total 1,70 juta pasangan.

Angka perkawinan di Indonesia kembali turun sekitar 128.000 menjadi "hanya" 1,58 juta pasangan pada 2023.

Baca juga: Benarkah NPWP Wanita yang Sudah Menikah Harus Dicabut?

Tren nikah dan cerai berbanding terbalik

Di sisi lain, tren perceraian cenderung menunjukkan peningkatan selama lebih dari seperempat abad, dengan total 114.252 pasangan bercerai sepanjang 1996/1997.

Sepuluh tahun berikutnya, angka perceraian melambung menjadi sebanyak 365.654 pada 2016 dan 374.516 pada 2017.

Angka kembali naik hingga mencapai 408.202 pasangan bercerai pada 2018, serta 439.002 pasangan pada 2019.

Meski sempat menyentuh 200.000-an pada 2020, jumlahnya terpantau melonjak lagi sebanyak 447.743 di 2021.

Hingga pada 2022, total pasangan Indonesia yang bercerai melambung ke angka 516.344 cerai, mencatatkan sejarah perpisahan rumah tangga tertinggi sejak 1996.

Kendati tahun selanjutnya turun sebanyak 52.690 pasangan, jumlah perceraian di Tanah Air pada 2023 masih relatif banyak, yakni 463.654 pasangan.

 Baca juga: Arab Saudi Kini Izinkan Akad Nikah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Tren global

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengungkapkan, tren penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di Indonesia.

"Penurunan angka perkawinan sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di tingkat global," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/3/2024).

Ida mengatakan, anjloknya angka pernikahan pada level global perlu ditelaah dan diperbandingkan antar negara maupun budaya.

Demikian pula dengan Indonesia, penting untuk menilik dan memadukan antara desa dan kota (wilayah), etnis, agama, serta faktor lainnya.

"Hal ini mengingat konsepsi tentang perkawinan bisa berbeda, beragam," imbuh Ida.

Kendati demikian, menurut Ida, fenomena menurunnya tren perkawinan secara sosiologis bisa dijelaskan dari berbagai aspek, mulai dari gagasan hingga perilaku orangnya.

Aspek-aspek sosiologis tersebut pun sedikit banyak berhubungan dengan isu perceraian yang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu.

Baca juga: Mulai Tahun Ini, KUA Akan Jadi Tempat Pencatatan Pernikahan Semua Agama

Pergeseran paradigma

Pertama, Ida memandang, gagasan tentang pernikahan semakin mengalami pergeseran, baik nilai, tujuan, maupun fungsinya.

Sebagai contoh, sejak beberapa tahun terakhir, nikah tidak lagi dimaknai sebagai lembaga sakral, sehingga harus dijunjung tinggi serta diperjuangkan keutuhan dan keharmonisannya.

"Nikah dulu lebih karena tuntutan sosial ekonomi bahkan politik. Kini tuntutan sosial atau obligasi tentang nikah semakin lunak atau cair, apalagi di perkotaan," paparnya.

Sementara itu, berkaitan dengan tujuan dan fungsi menikah, menurut Ida, sebagian kalangan tidak lagi merasakannya.

Menikah pun kerap dianggap sebagai beban psikososial dan ekonomi. Terlebih, saat ini marak tergambar perkawinan gagal dan mengkhawatirkan di media sosial, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com