KOMPAS.com - Jam Kiamat atau Doomsday Clock yang terus berdetak selama 77 tahun kembali disetel 90 detik menuju tengah malam.
Waktu satu setengah menit sebelum tengah malam ini merupakan kali kedua arah jarum jam diatur paling dekat dengan "Hari Kiamat".
Dilansir dari laman IFL Science, Selasa (23/1/2024), Jam Kiamat adalah simbol yang mewakili kemungkinan terjadinya bencana global yang disebabkan manusia.
Diresmikan pertama kali pada Juni 1947 oleh Buletin Ilmuwan Atom (Bulletin of the Atomic Scientists), tengah malam yang ditandai dengan dua jarum menunjuk angka 12 diartikan sebagai hari kiamat.
Oleh karena itu, semakin mendekati tengah malam, para ilmuwan menilai semakin bahaya pula bencana dunia yang terjadi.
Baca juga: Ramai soal Kiamat Internet Berbulan-bulan Dapat Terjadi, NASA Lakukan Prediksi dengan AI
Jam Kiamat terus bergerak maju secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir, yang menandakan Bumi tak lagi aman untuk manusia.
Pada awal 2023, berbagai faktor seperti invasi Rusia ke Ukraina dan peningkatan risiko eskalasi nuklir membuat ilmuwan menggeser jam dari 100 detik pada 2020-2022 menjadi 90 detik menuju tengah malam.
Dengan tampilan jam menunjukkan 23.58.30, yang mana paling dekat dengan kiamat, manusia disimbolkan hanya memiliki waktu 90 detik sebelum dunia hancur.
Kali ini, tepatnya pada Selasa (23/1/2024), sekelompok ilmuwan atom yang tergabung dalam Buletin Ilmuwan Atom kembali mengatur jarum jam menjadi 90 detik.
Presiden dan CEO Buletin Ilmuwan Atom, Rachel Bronson mengatakan, menyetel ulang Jam Kiamat di angka 90 detik menuju tengah malam bukanlah indikasi dunia stabil dan tak ada perubahan dari tahun sebelumnya.
"Justru sebaliknya, sangat mendesak bagi pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk bertindak. Dan Buletin ini tetap penuh harapan dan terinspirasi dalam melihat generasi muda memimpin upaya ini," lanjutnya Bronson.
Baca juga: Kadar Oksigen Bumi Bisa Turun Drastis dan Jadi Akhir Perjalanan Manusia, Kapan Terjadi?
Dikutip dari CNN, Selasa, keputusan memasang jam pada waktu yang sama untuk tahun ini sebagian disebabkan oleh konflik yang melanda sejumlah negara, termasuk di Gaza dan Ukraina.
Keputusan ini juga menilik kekhawatiran akan potensi perlombaan senjata nuklir dan krisis iklim yang berkelanjutan.
"Tren terus mengarah pada bencana global. Perang di Ukraina selalu menimbulkan risiko eskalasi nuklir," tuturnya.