Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. Alfian Akbar Gozali
Dosen & Manajer Pengembangan Produk TI Telkom University

Dosen Telkom University, Penulis Buku Kecerdasan Generatif Artifisial

AI dan Hak Kekayaan Intelektual

Kompas.com - 08/09/2023, 12:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM abad ke-21, kita menyaksikan kemajuan signifikan dalam dunia teknologi. Salah satu fenomena yang tengah menjadi sorotan adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam menciptakan karya seni dan konten lainnya.

Perkembangan AI generatif memungkinkan penciptaan gambar, tulisan, serta video dan audio dengan kualitas yang semakin meningkat.

Perusahaan raksasa seperti Microsoft dan Google bahkan telah melangkah lebih jauh dengan memasukkan fitur AI generatif ke dalam paket bisnis mereka, memudahkan perusahaan-perusahaan dalam mewujudkan ide kreatif mereka dan menciptakan konten dalam skala yang lebih besar.

Kepemilikan HKI pada ciptaan AI

Namun, kemudahan ini datang dengan sejumlah tantangan dan pertanyaan, terutama mengenai hak kekayaan intelektual (HKI) atas karya yang dihasilkan oleh AI.

Salah satu contoh yang menarik adalah karya seni AI bertajuk "The Next Rembrandt", proyek ambisius yang didukung ING Bank dan dikerjakan oleh biro periklanan J Walter Thompson pada 2016.

Dalam proyek tersebut, AI mempelajari dan menganalisis 346 lukisan dari Rembrandt van Rijn, pelukis terkemuka Belanda, dan menciptakan karya baru yang hampir tidak bisa dibedakan dari karya asli Rembrandt.

Karya ini tidak hanya memenangkan lebih dari 60 penghargaan di industri periklanan, tapi juga membuka debat mengenai apakah karya yang dihasilkan oleh AI dapat memiliki HKI atau tidak.

Karya berbasis AI tidak terbatas pada dunia seni visual saja, namun juga merambah ke dunia sastra.

Dalam eksperimen revolusioner, Hitoshi Matsubara dan timnya di Future University Hakodate di Jepang menciptakan novel berbasis AI yang bahkan sempat berkompetisi dalam kontes literasi.

Di lain pihak, Botnik Studios menggali lebih dalam dalam seni narasi dengan menciptakan novel baru berdasarkan analisis dari ketujuh buku seri Harry Potter, mengejutkan penggemar dengan kisah baru yang dihasilkan oleh AI.

Namun penggunaan teknologi ini juga mengangkat persoalan serius mengenai privasi. Model bahasa berskala besar, atau Large Language Models (LLMs), dapat memulihkan informasi pribadi dari data pelatihan (training), menciptakan risiko serangan privasi yang signifikan.

Di sisi lain, LLMs juga dapat digunakan untuk menciptakan data sintetis yang dapat digunakan untuk melatih model AI lainnya. Sehingga menghasilkan prediksi yang lebih akurat mengenai individu berdasarkan data nyata.

Di tengah kekhawatiran ini, lembaga pemerintah dari berbagai negara mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah-masalah ini.

Pada 16 Maret 2023, The Copyright Office (Kantor Hak Cipta AS) mengumumkan akan menyelidiki hukum dan kebijakan terkait dengan penggunaan AI generatif, menanggapi permintaan dari anggota Kongres dan masyarakat luas.

Bahkan Shira Perlmutter, Direktur USCO, telah memperjelas bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh mesin, termasuk yang dihasilkan melalui penggunaan alat-alat modern seperti DALL-E dan GPT-4, tidak akan dilindungi oleh hak cipta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com