AKHIR-akhir ini, Artificial Intelligence (AI) tengah menjadi perbincangan luas di seluruh belahan dunia.
Bila tahun lalu masyarakat dunia sempat dikejutkan dengan rencana dari Meta (sebelumnya bernama Facebook) untuk membangun Metaverse yang memanfaatkan teknologi tiga dimensi (3D) didukung teknologi lainnya seperti data analytic dan blockchain, maka tahun ini dunia dibuat tercengang sekaligus khawatir dengan semakin meluasnya penggunaan dan perkembangan AI yang sudah memiliki kemampuan "generative AI".
Seperti biasanya, bila ada sesuatu yang baru dalam bidang teknologi, euforia muncul. Mulai dari hal-hal lucu seperti memprediksi wajah seseorang saat sudah tua nanti hingga hal-hal yang cukup serius seperti synthetic medical images yang berguna dalam penelitian medis.
Salah satu hype terhadap AI adalah tambahan investasi sebesar 10 miliar dollar AS dari Microsoft, perusahaan raksaksa teknologi (tech giant) untuk OpenAI, perusahaan start up yang bergerak dalam pengembangan AI.
Di balik harapan terhadap potensi dari AI, muncul juga sejumlah kekhawatiran. Film-film sci-fi yang sudah muncul sejak beberapa dekade lalu, seakan mulai menjadi kenyataan dan sekaligus memperingatkan kita agar lebih berhati-hati dengan teknologi AI.
Salah satu pertanyaan besar terkait AI adalah, akankah AI menjadi lebih pintar dari manusia dan kapan hal itu akan terjadi?
Konsep yang kemudian disebut dengan singularity ini dipopulerkan tahun 1993 oleh Vernor Vinge, seorang ahli matematika dan ilmu komputer. Ia memprediksi AI akan menyamai kecerdasan manusia pada 2030.
Sementara itu, futurist dan ahli komputer Ray Kurzweil memprediksi bahwa singularity baru akan terjadi pada 2045.
Perbedaan perkiraan waktu ini disebabkan berbagai aspek seperti perkembangan teknologi khususnya teknologi komputasi itu sendiri, termasuk hardware dan software-nya, perkembangan riset di bidang-bidang terkait AI, pemahaman terhadap AI, serta aspek-aspek lainnya seperti penerimaan dari masyarakat dan regulasi.
Fenomena "AI singularity" di mana AI sudah mencapai tahap "super AI" menimbulkan pro dan kontra dari para ahli.
Sebagian menanggapi positif bahwa singularity akan mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sebagian lainnya juga menentang perkembangan AI karena kekhawatiran bahwa AI menjadi tidak terkendali dan hilangnya identitas manusia.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, para ahli sepakat bahwa "AI singularity" merupakan peristiwa yang complex dan uncertain.
Tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk memprediksinya dan ada banyak perspektif mengenai implikasi dari singularity terhadap kehidupan manusia.
Kondisi future event dari "AI singularity" yang rumit dan penuh ketidakpastian perlu diantisipasi secara hukum dengan menggunakan pendekatan transformative law atau hukum transformatif.
Dalam kacamata hukum, terdapat dua fungsi utama, yaitu menjunjung tinggi ekspektasi normatif dan mentransformasi fenomena sosial.