Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Kebetulan Itu Ada atau Tidak?

Kompas.com - 17/07/2023, 05:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI ANTARA para teori matematika, saya paling gamang menghadapi apa yang disebut sebagai teori probabilitas yang berani menghitung apa yang disebut sebagai kemungkinan, bahkan dilengkapi margin of error sebagai kedok untuk menutupi ketidak-pastian kebenaran penghitungan yang dalam suasana kecurangan mirip dalih cetirus paribus.

Secara pribadi saya gamang menghadapi teori probabilitas akibat kebetulan nasib ayah saya menjadi buta akibat operasi katarak yang dilakukan berdasar teori probabilitas.

Pada saat ayah saya mulai menderita katarak, saya percayakan operasinya kepada seorang profesor spesialis bedah mata yang telah sukses mengoperasi ribuan pasien katarak.

Dengan demikian, berdasar teori probabilitas memiliki kadar keberhasilan sekian ribu berbanding nol alias nihil alias dijamin pasti sukses.

Ternyata teori beda dari kenyataan sebab kebetulan ayah saya menjadi korban pertama sang profesor ahli bedah mata katarak yang sebelumnya belum pernah gagal.

Sejak tragedi ayah saya kehilangan indera lihat pada satu mata itu, saya tidak lagi percaya pada teori kemungkinan dengan kedok margin of error-nya.

Pendek kata, saya sudah tidak percaya terhadap apa yang disebut sebagai kebetulan maka saya masuk ke dalam golongan kaum tidak percaya kebetulan.

Namun dalam tidak percaya kebetulan terus-terang saya menjadi ragu alias gamang juga.

Kebetulan sebagai pemercaya tidak ada kebetulan, berulang kali saya menghadapi berbagai peristiwa bersifat kebetulan.

Misalnya, pada 28 September 2016, kebetulan saya menyaksikan dengan mata di kepala saya sendiri betapa ratusan warga Bukit Duri kehilangan rumah atau lebih tepat disebut sebagai gubuk digusur oleh penggusur yang menurut Prof. Mahfud dan Prof. Laoly “secara sempurna melanggar hukum” sebab de facto maupun de jure tanah dan bangunan yang digusur kebetulan masih resmi dalam proses hukum di pengadilan negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jelas bahwa tanah dan bangunan milik warga Bukit Duri sebenarnya tidak boleh disentuh apalagi digusur pada saat sedang menjalani proses hukum.

Akibat kebetulan pada Mei 1998, saya sudah bermukim di Istana Sahid Apartment, Jakarta maka dari jendela rusun saya dengan mata di kepala saya sendiri menyaksikan betapa dahsyat gumpalan asap mengangkasa dari bangunan-bangunan yang dibakar oleh para huruharawan.

Pada saat itu asa saya putus atas keyakinan bahwa bangunan rusun yang saya huni juga akan menerima giliran dibakar habis oleh para huruharawan yang konon adalah kaum rasialis antiwarga keturunan China seperti saya, bahkan saya wajib segera menyelamatkan diri agar tidak dibantai oleh kaum perusuhan yang rasis itu.

Namun kebetulan nasib saya belum senahas seperti yang saya khawatirkan akibat kebetulan pemerintah meski terlambat namun segera mengerahkan segenap upaya untuk meredakan, bahkan menghentikan huru hara.

Kebetulan juga sahabat merangkap mahaguru lingkungan hidup saya, Prof Emil Salim menelpon saya untuk menanyakan nasib saya serta menghibur saya sambil menyarankan saya agar tidak keluar rumah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com