SEPERTI kita semua, Nirva Augustin juga punya hari ketika ia ingin “meledak” saat bekerja. Selasa, 8 Juli 1997, itu, saya dapat membayangkan darahnya mendidih, barangkali melebihi rebusan air di atas kompor tempat kerjanya: restoran mewah The Yale Club.
Sebagai sesama pelaku industri F&B, Augustin sangat yakin bahwa apa yang atasannya, Carlos Gonzales, katakan hari itu bukanlah sebuah bentuk ketidaktahuan. Pasti dia sengaja, pikirnya. Masa iya orang yang sudah paham betul ragam menu makanan, malah salah menyebutkan nama suatu masakan?
Kata yang salah itu rentan bermakna pelecehan bagi perempuan. Masakan yang tersangkut dalam problem itu adalah sebuah olahan ham, daging dari bagian kaki babi, yang diiris tipis dan disajikan secara mentah. Namanya, prosciutto ham.
Baca juga: Gara-gara Konten Plesetan, Babe Cabiita Disomasi
Gonzales memplesetkan sajian asal Italia tersebut menjadi “prostitute ham” – yang tanpa saya harus beri penjelasan, pasti Anda bisa menebak artinya.
Permainan kata “sesepele” itu dipersepsikan Augustin sebagai salah satu bentuk pelecehan yang ia terima selama bekerja di The Yale Club. Namun pada akhirnya, ternyata para pengadil tidak terlalu memperkarakan plesetan “prosciutto” menjadi “prostitute” tersebut.
Mengapa begitu?
Menurut profesor hukum Temple University yang tertarik mengkaji humor, Laura Little, dalam Guilty Pleasures: Comedy and Law in America (2019), minimal ada dua alasannya. Pertama, sifat dari humor permainan kata itu sendiri yang sangat bertumpu pada kerja akal.
Secara teori, plesetan terasosiasi dengan keganjilan atau incongruity, nature-nya berbeda dengan teori mapan humor lain macam superioritas yang konotasinya memang menindas atau relief theory yang hanya bisa muncul pasca-penindasan.
Kita, para pendengarnya, baru bisa menemukan unsur humor atau mentertawakan plesetan setelah pikiran kita berhasil menemukan keganjilan, yakni dua kata yang berbeda makna, tapi bisa terhubung lewat kesamaan beberapa suku kata.
Itu proses berpikir yang rumit, loh! Semisal kita gagal menemukan referensi kata yang dimaksud oleh pelontar plesetan, pupuslah efek humornya.
Kedua, plesetan minim mengandung emosi. Unsur serangan kepada pribadi dalam plesetan bisa dibilang lebih rendah dari jenis humor lainnya, macam satire, lebih-lebih sarkasme.
Kalau pun memuat pelanggaran, potensi yang rawan dibawa oleh plesetan adalah pelanggaran konvensi dalam berkomunikasi.
Mengemas kembali paparan pemikir humor John Morreall dalam Taking Laughter Seriously (1983), plesetan itu saya bayangkan bak paku di jalanan. Ia rentan menggembosi laju dialog, yang merupakan aktivitas tukar-menukar informasi antara dua orang atau lebih untuk mencapai titik dan kebutuhan tertentu.
Baca juga: Yang Boleh Bebas dari Penjara, Hanya Humor
Sebab supaya bisa bekerja, plesetan harus menunggangi kata yang ada dalam topik pembicaraan. Kemudian, seperti sudah dijelaskan di atas tadi, kata tersebut akan dibelokkan menuju kata lain yang mirip-mirip, tapi definisinya berbeda.
Singkat cerita, munculnya kata dengan definisi berbeda ini membuat tujuan dialog rentan tak tercapai. Dialog jadi melenceng dari tujuan utama gara-gara ada satu-dua kata yang tak relevan itu.