MENYAWER qari atau pembaca Al Quran merupakan fenomena baru di Indonesia. Kebiasaan menyawer qari sebelumnya tidak dikenal dalam khazanah tradisi Islam di kepulauan Nusantara.
Sawer dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain pertunjukan. Awalnya sawer hanya terjadi pada pertunjukan keliling seperti kepang kuda atau topeng monyet.
Lambat laun sawer juga terjadi pada pertunjukan di panggung musik dan seni. Kini sawer-menyawer juga mulai muncul dalam perhelatan atau peringatan atau majelis ilmu ketika pembacaan Al Quran.
Baca juga: Sejarah Tradisi Islam di Nusantara
Aktivitas ini dikecam banyak ulama karena dianggap tidak punya etika majelis.
Tahun 2017, video seorang qari disawer atau diberi sejumlah uang oleh penonton viral dan mengundang decak kagum penonton. Peristiwa itu disebut terjadi di Pakistan.
Para penonton berkomentar bahwa suara qari yang bagus dan menusuk kalbu ketika membaca Al Quran layak mendapat penghargaan. Penghargaan itu adalah saweran berupa sejumlah uang dari penonton.
Hal itu dirasa pantas dilakukan sembari membandingkannya dengan saweran untuk penyanyi dan biduan musik. Agaknya, dari sinilah awal tradisi sawer mulai diterima dan berpengaruh dalam masyarakat muslim Indonesia dan kemudian dipraktikkan sebagai sebuah "tradisi" baru tanpa pertimbangan kepatutan.
Penerimaan atas suatu tradisi yang berasal dari luar tanpa daya kritis yang memadai memang telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Bagi muslim Indonesia, tradisi umat Islam yang berasal dari luar cenderung selalu dipandang sebagai tradisi yang baik, sesuai dengan ajaran Islam atau sangat islami.
Padahal, kadang-kadang tradisi itu hanya tradisi masyarakat lokal tertentu, dan tidak jarang bertentangan dengan nilai dan tradisi Islam Indonesia.
Sebaliknya, tradisi umat Islam di Indonesia sering kali dipandang rendah atau bertentangan dengan Islam, meskipun tradisi itu baik dan sesuai dengan nilai Islam.
Ada beberapa alasan kenapa suatu tradisi dari luar mudah diadopsi. Pertama, karena dipraktikkan oleh suatu komunitas secara global. Perkembangan informasi tanpa batas dan hambatan membuat pengguna internet dengan mudah mengetahui perkembangan masyarakat di negara lain, sehingga dengan mengetahui suatu informasi, orang akan merasa sebagai bagian tak terpisahkan dengan masyarakat global.
Ketika seseorang sudah merasa bagian dari masyarakat global, orang akan melakukan apa yang sedang digandrungi sebagai bentuk keterlibatan. Dalam konteks ini, tradisi dan perilaku apapun akan diadopsi.
Alasan kedua, suatu tradisi diadposi karena dipraktikkan oleh suatu komunitas sesama penganut keyakinan atau ideologi. Praktik sawer terhadap pembaca Al Quran atau qari di Pakistan disukai oleh publik Indonesia karena Pakistan dinilai sebagai salah representasi dari Islam, selain negara-negara Timur Tengah.
Maka, kebiasaan muslim Pakistan pun dirasa layak untuk diadopsi dan dianggap tradisi Islam.
Baca juga: Umbul Dungo Apeman Rakyat, antara Adat Kejawen dan Tradisi Islam