Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sakafa Guraba
Pegawai Negeri Sipil

PNS dan Kolumnis

Dimensi Koruptif Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Hak Guna Usaha

Kompas.com - 18/11/2022, 11:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJARAH Hak Guna Usaha (HGU) di Indonesia berawal dari era kolonial yang dikenal dengan Hak Erfpacht.  Pada masa itu, Hak Erfpacht merupakan alat pemerintah kolonial untuk menjarah kekayaan sumber agraria di Tanah Air.

Hak Erfpacht bersumber dari Undang-undang Agraria Kolonial (Agrarisch Wet) yang ditujukan untuk memfasilitasi investasi luar negeri masuk ke Indonesia dan memperoleh tanah untuk mengembangkan tanaman komoditas ekspor, sehingga sering disebutkan beberapa pakar hukum bahwa HGU merupakan “warisan kolonial”.

Negara sebagai oraganisasi yang memiliki kekuasaan tertinggi, mempunyai hak menguasai bumi, air, dan kekayaan alam sebagaimana terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Setelah ada Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria, ketentuan HGU secara definitif dirumuskan sebagai hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu dan tanah yang diberikan dalam HGU ialah tanah negara.

Baca juga: Kepala Kanwil BPN Riau M Syahrir Diduga Terima Suap Rp 1,2 Miliar Terkait Perpanjangan HGU

HGU sendiri bersifat primer yang memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu yang peruntukannya adalah bagi usaha pertanian, perikanan, perkebunan, dan peternakan.

Tahun 2022, dalam proses penegakan hukum, terdapat tren yang muncul yakni meningkatnya penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan pemanfaatan tanah negara di atas lahan HGU.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian masyarakat dan pemerhati hukum yakni dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan Duta Palma Group diatas lahan HGU di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau. Kasus itu disebut telah menyebabkan kerugian negara dan perekonomian negara sebesar Rp 99,2 triliun. Nilai tersebut menjadi rekor kerugian negara terbesar dalam sejarah penanganan tindak pidana korupsi.

Modus tindak pidana korupsi dalam pemanfaatan HGU

Kasus korupsi yang bersinggungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan HGU yang terus bermunculan dengan berbagai modus operandi. Berdasarkan pengamatan penulis, pola tindakan korupsi dalam pemanfaatan HGU terjadi dalam tiga fase.

Fase pertama (dan paling umum ditemui) adalah tindak pidana korupsi dalam penerbitan, perpanjangan, dan pembaharuan dari sertifikat HGU. Kasus terkait hal tersebut sangat sering ditemui, seperti kasus suap dan gratifikasi GTU selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat (2012-2016) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur (2016-2018), dan SWD selaku Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Wilayah Kalimantan Barat yang menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah, termasuk pemohon HGU Hak dalam rentang tahun 2012 hingga 2016.

Baca juga: Kejagung: Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group Capai Rp 78 Triliun

Pada Oktober 2022, kasus yang serupa juga muncul yang melibatkan mantan Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau M Syahrir (MS), swasta/pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya (FW), dan General Manager PT AA Sudarso (SDR) dalam proses pemberian zin HGU sawit di Kabupaten Kuansing.

Fase kedua adalah tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan atau pada masa HGU sedang berlangsung. Dalam fase tersebut umumnya tindak pidana korupsi yang terjadi pada perizinan HGU yang bemasalah. Namun, terdapat penerimaan negara yang tidak disetorkan.

Contohnya dalam kasus PT Duta Palma Group yang memiliki tiga sertifikat HGU dengan total luas 15.593,90 hektare, tetapi tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Karena itu, negara tidak memperoleh haknya berupa pendapatan dari pembayaran Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Sewa Penggunaan Kawasan Hutan serta kerusakan tanah dan lingkungan yang menyebabkan kerugian negara dan perekonomian negara sebesar Rp 99,2 triliun.

Fase ketiga adalah pemanfaatan lahan eks HGU yang telah habis masa berlakunya. Untuk fase tersebut hingga saat ini belum ditemukan kasus yang sampai pada proses pengadilan.

Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah mengatur bahwa setelah hapusnya HGU di atas tanah negara mengakibatkan tanah menjadi tanah negara. Karena itu pemanfataan atas eks HGU yang tidak memiliki dasar hukum dan legitimasi mengakibatkan negara tidak mendapatkan penerimaan, baik bersumber dari pajak dan pendapatan lainnya yang sah menurut peraturan perundangan-undangan.

Kalkulasi kerugian negara

Pembahasan tindak pidana korupsi di Indonesia erat kaitannya dengan kerugian keuangan negara. Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian MK menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil).

Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam Tipikor.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com