Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Dalam lagu “Indonesia Raya”, W.R. Supratman menulis, “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku …” dengan optimis.
Sayangnya, lagu nasional Indonesia saat ini jarang terdengar, baik diputar maupun dinyanyikan, selain pada hari-hari besar atau saat upacara. Bahkan, pamornya semakin redup lantaran tergeser lagu-lagu populer.
Lagu “Indonesia Raya” sendiri mulanya merupakan lagu perjuangan yang kemudian diangkat menjadi lagu kebangsaan dan lebih menjadi medium penanaman nilai dibandingkan dinikmati aspek estetisnya. Pendek kata, sifat lagu “Indonesia Raya” yang seremonial lebih menonjol daripada teknik atau komposisi musiknya.
Dalam siniar Tinggal Nama bertajuk “W.R. Supratman: Di Balik Megahnya Indonesia Raya” yang dapat diakses melalui dik.si/TN_Supratman, kita dapat mengetahui perjalanan dan lika-liku W.R. Supratman menciptakan sekaligus memperjuangkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” hingga bisa diputar dan dinyanyikan secara bebas seperti sekarang ini.
Pertanyaannya, apakah salah bila para remaja sekarang ini lebih menyukai lagu yang sedang populer daripada “Indonesia Raya”? Tentu tidak, dan pastinya referensi atau selera kesukaan setiap orang berbeda-beda.
Remaja sekarang juga lebih mudah mengakses kebudayaan luar yang mengakibatkan kedekatan dengan lagu-lagu nasional cenderung berkurang.
Baca juga: Kenapa Pemimpin Harus Menjadi Coach bagi Karyawan?
Akan tetapi, bila direnungkan dan melihat ke zaman bagaimana lagu “Indonesia Raya” diciptakan, kita dapat belajar bahwa kebebasan dan kemerdekaan layak diperjuangkan.
Juga lagu “Indonesia Raya” mengandung semangat patriotisme yang merupakan upaya penyampaian pesan konstruktif kemerdekaan melalui musik.
Tentunya, perjuangan yang dilakukan W.R. Supratman tidaklah mudah, terutama menciptakan serangkaian lirik lagu penuh makna dengan lantunan musik yang menyertainya. Itu sebabnya, lagu “Indonesia Raya” tidaklah dapat dinikmati sebatas lagu yang nyaman didengar. Karena ada semangat perjuangan yang terkandung di dalamnya.
Setelah lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda II, bukan berarti semua pihak setuju. Tidak sedikit W.R. Supratman memperoleh tudingan dari komponis bumi putera yang tidak suka karena lagu “Indonesia Raya” bernuansa kebarat-baratan.
Tudingan itu bukan tanpa alasan. Karena sesuatu yang “barat” erat kaitannya dengan kaum penjajah, sehingga lagu-lagu yang mengandung ekspresi kebarat-baratan tidak layak disebut sebagai lagu kebangsaan.
Pendek kata, lagu “Indonesia Raya” mengundang pelbagai polemik dalam kalangan intelektual pribumi. Polemik ini terjadi antara kelompok nasionalis tradisional, seperti Ki Hadjar Dewantara dan Ali Boediardjo, dan kelompok ultranasionalis, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane.
Kelompok nasionalis tradisional menginginkan negara Indonesia yang dibangun dengan berakar pada budaya tradisi leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Sementara kelompok ultranasionalis menghendaki wacana Indonesia yang baru, tidak terbelenggu sejarah.
Baca juga: Pentingkah Berbahasa Indonesia yang Benar di Lingkungan Kerja?
Bila ditilik lebih lanjut, W.R. Supratman memang tidak mengimplementasikan unsur-unsur pribumi sebagai identitas. Namun, pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional seperti pada Sumpah Pemuda merupakan sebuah momentum pemberlakuan musik diatonis sebagai musik nasional.