Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Kenaikan Harga BBM Subsidi, Ekonom: Tolong Benar-benar Dicermati

Kompas.com - 21/08/2022, 08:00 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar pada minggu depan.

Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, dikutip dari Kompas.com, Jumat (19/8/2022).

Menurut pemerintah, harga BBM subsidi saat ini telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 502 triliun.

Lantas, bagaimana pendapat ekonom?

Baca juga: Ramai soal Isu Pertalite Naik Jadi Rp 10.000, Ini Penjelasan Pertamina

Pemerintah mencermati betul

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, rencana kenaikan harga BBM subsidi harus dicermati dengan baik oleh pemerintah.

Ia mempertanyakan, apakah masyarakat kurang mampu akan siap dengan kenaikan ini. Terlebih setelah inflasi bahan pangan menyentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022.

"Kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite tolong benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022," ujarnya, kepada Kompas.com, Sabtu (20/8/2022).

Kata dia, masyarakat kelas menengah rentan terdampak rencana kenaikan harga BBM subsidi.

"Mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite, dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain," kata Bhima.

Baca juga: Kuota Pertalite Bakal Jebol, Pengamat: Batasi dan Naikkan Harganya

Ia mencontohkan, yang awalnya masyarakat memiliki rencana membeli rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga menyisihkan uang untuk memulai usaha baru, akhirnya uang yang dimiliki harus tergerus untuk membeli bensin.

Menurutnya, hal itu berimbas pada terpukulnya permintaan industri manufaktur, terganggunya serapan tenaga kerja, dan buyarnya target-target pemulihan ekonomi pemerintah.

"Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase Stagflasi. Imbas nya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," jelas dia.

Baca juga: Penjelasan Pertamina soal Isu Pertalite Naik Jadi Rp 10.000 Per Liter

Serapan subsidi

Warga terpaksa membeli BBM non-subsidi pertamax akibat BBM bersubsidi Pertalite di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Depok, Jawa Barat kosong, Rabu (3/8/2022). Kuota BBM subsidi akan habis pada akhir tahun ini. Konsumsi BBM jenis Pertalite tahun ini diproyeksikan bakal mencapai 28 juta Kiloliter. Sementara kuota yang sudah ditetapkan pemerintah pada tahun ini hanya 23,05 juta Kiloliter, sehingga diprediksi hanya bertahan sampai September 2022.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Warga terpaksa membeli BBM non-subsidi pertamax akibat BBM bersubsidi Pertalite di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Depok, Jawa Barat kosong, Rabu (3/8/2022). Kuota BBM subsidi akan habis pada akhir tahun ini. Konsumsi BBM jenis Pertalite tahun ini diproyeksikan bakal mencapai 28 juta Kiloliter. Sementara kuota yang sudah ditetapkan pemerintah pada tahun ini hanya 23,05 juta Kiloliter, sehingga diprediksi hanya bertahan sampai September 2022.
Sepanjang Januari hingga Juli 2022, lanjut Bhima, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 triliun, berdasarkan data APBN Kita.

Menurut dia, APBN sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB diperiode Juli.

Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk mendorong penerimaan negara.

"Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," bebernya.

"Win-win solution-nya, pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran Solar subsidi yang dinikmati industri skala besar. Misalnya, pertambangan dan perkebunan besar," ungkapnya.

Dengan ditutupnya kebocoran Solar, kata Bhima, pemerintah bisa hemat pengeluaran subsidi. Pasalnya, 93 persen konsumsi Solar adalah jenis subsidi.

"Atur dulu kebocoran Solar subsidi di truk yang mengangkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis Pertalite," tandasnya.

Baca juga: Ramai soal Menggoyang Mobil dan Motor Saat Isi BBM, Bisa Picu Kebakaran?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com