SAYA termasuk orang yang kerap ragu tentang kebenaran umum yang selama ini dianut banyak orang, termasuk stereotip gender di dunia anak-anak.
Suatu hari, seseorang bertanya pada anak saya,”Alka, cita-citanya apa?” Kemudian anak saya menjawab ingin menjadi pemadam kebakaran.
Namun respons penanya malah heran dan mengatakan, "Loh, kenapa pemadam kebakaran? Itu kan biasanya untuk anak laki-laki."
Padahal semua orang berhak menentukan cita-citanya sesuai minat dan bakatnya tanpa terbatasi gender.
Kali lain, ini masih tentang profesi. Saya mengawasi anak saya yang sedang bermain dengan teman sebayanya.
Saya dengar, banyak yang mereka diskusikan dan tentunya dengan melakukan role play berdasarkan imajinasi mereka.
Anak saya lalu menceletuk,”Kamu jadi dokter dan aku mau jadi polisi!"
Temannya menjawab,”Jangan polisi. Itu kan untuk anak laki-laki. Jadi dokter aja!"
Selain itu, ini yang sering saya dengar bahwa laki-laki nggak boleh menangis. Saya tinggal di rumah kontrakan berpetak, sehingga celotehan orang dari luar akan terdengar.
Tidak hanya sekali, saya mendengar beberapa kali tanggapan tetangga saya ketika anaknya menangis karena terjatuh.
Tetangga saya acap berkata, “Kenapa menangis? Jangan menangis. Kan kamu laki-laki harus kuat, nggak boleh nangis."
Hati saya sedikit tercubit mendengar hal tersebut. Mengapa anak kecil dilarang menangis hanya karena dia laki-laki?
Nah, apa lagi?
Ini. Tak sedikit orangtua menekankan kepada anak-anak bila bermain harus dengan gender yang sama. Laki-laki jangan bermain dengan perempuan. Dan sebaliknya.
Sering saya mendapati ungkapan tersebut. Bagi saya bermain bisa dengan siapa saja tidak terbatas gender asalkan bermain "sehat".