DASAR falsafah individualisme bangsa menimbulkan kapitalisme dan imperialisme yang menjerumuskan negara-negara ke dalam peperangan. Begitu cuplikan isi Soekarno pada Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Minggu 15 Juli 1945 di Jakarta. Saat itu, Soekarno adalah Ketua Panitia Hukum Dasar BPUPKI untuk Indonesia merdeka.
Pesan Soekarno itu menembus zaman hingga hari-hari perang Rusia vs Ukrainia pecah sejak 24 Februari 2022.
“This is a fossil fuel war!” tulis Oliver Milman diThe Guardian edisi Rabu 9 Maret 2022. Hari-hari ini kapitalisme fosil – gas dan minyak- menyeret lebih dari 30 negara ke dalam “bencana geopolitik” (geopolitic catastrophe) episentrum perang Rusia vs Ukraina.
Baca juga: Biden: Dorongan Produksi Energi Fosil Tak Konsisten dengan Tujuan Iklim
Oliver Milman mengutip ahli lingkungan Svitlana Krakovska asal Ukraina yang mengatakan bahwa konsumsi minyak, gas dan batu-bara memicu pemanasan global (global warming). Rusia jual sumber-sumber daya alam (SDA) untuk membeli senjata. Perang Rusia vs Ukraina adalah perang bahan-bakar fosil.
Svitlana Krakovska termasuk satu dari 234 ahli perubahan iklim Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merilis hasil riset dan kajian tahun 2021. Dari Geneva, Swiss, pada 9 Agustus 2021, IPCC merilis laporan ilmiah 3.000 halaman tentang risiko perubahan iklim pra dan pasca-tahun 2030-an.
Laporan IPCC itu mengingatkan, saat ini suhu global naik 1,1 derajat Celsius sejak abad 19 M, atau level tertinggi selama 100 tahun terakhir. Manusia adalah penyebab utama lonjakan pemanasan planet Bumi sejak era pra-industri hingga abad 17 M. Kegiatan manusia memicu pelepasan gas-gas yang ‘menangkap’ panas, khususnya karbon dioksida (CO2) dan methane.
IPCC menyebut tahun 2021 dengan label ‘code re for humanity’ atau kode merah kehidupan manusia dan peradabannya di Bumi.
Krisis energi di negara-negara Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Serikat tahun 1973 dan 1979, memicu berbagai negara merumuskan energi-fosil (minyak, batu-bara, gas) sebagai unsur strategis keamanan negara. Sisi sosial-ekonomi krisis itu selain elitis, juga dipicu oleh konflik kendali akses, produksi, dan distribusi bahan-bakar fosil.
Kita lihat data global. Hasil riset Cleveland (2007), sekitar 1,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses ke listrik dan 2,4 miliar penduduk bergantung pada bahan bakar biomass, misalnya sampah, kayu, dan charcoal.
Secara umum, masyarakat pra-revolusi industri di Eropa Barat, menurut Wrigley (2010), juga temasuk ‘low energy-society’ dan tata-masyarakat ekonomi organik dengan pasokan bahan bakar dari air, angin, atau matahari.
Di sisi lain, tata masyarakat bahan-bakar fosil berasal dari masyarakat ekonomi industri. Masyarakat bahan bakar fosil disebut masyarakat ‘high-energy’ atau energi hasil ekstraksi SDA.
Sejak revolusi industri abad 18 M di Eropa Barat, tata-masyarakat dunia terpateri ke dalam sistem energi fosil ini. Dari sini lahir tata masyarakat ekonomi non-organik.
Kelahiran kapitalisme fosil di Eropa sejak akhir abad 18 M berawal dari revolusi energi. Misalnya, produsen-produsen makin mengandalkan bahan bakar batu-bara yang melahirkan akumulasi kapital, khususnya kapitalisme fosil (Malm, 2016). Batu-bara melayani lonjakan kebutuhan energi abad 18-19 di Eropa (Smil, 2010). Tata sosial-ekonomi-politik masyarakat industri akhirnya makin bergantung pada poduksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil yang memicu ekspansi cepat dan skala besar-global industri-industri gas alam, minyak dan batu-bara.
Berikutnya, keamanan pasokan energi makin penting secara geopolitik. Sebab sejak abad 19 M, sistem senjata semakin mekanis dan bergantung pada pasokan energi (Farrel et al., 2004). Sejak itu, keamanan energi nyaris sinonim dengan diversifikasi sumber-sumber bahan bakar. Maka Angkatan Laut Inggris, misalnya, beralih dari bahan bakar batu-bara ke minyak ketika bersaing dengan Jerman (Labba, 2011: 327).