Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Menuju Muktamar, Umat Terpaksa Menolak

Kompas.com - 17/11/2021, 05:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Alkisah

Alkisah, awal tahun 1980-an. Setelah kelar pendidikan tingkat dasar; ibtidaiyah pagi dan diniyah sore di Pondok Pesantren Nurul Huda, Penulis melanjutkan ke Pondok Pesantren Al Amien. Nurul Huda adalah pondok yang diasuh oleh KH Achmad Badar Rois lulusan Mambaul Ulum Batabata dan PP Banyuanyar, sedang PP Al Amien dirintis oleh pendirinya, KH Achmad Djauhari Chotib yang, antara lain, berguru kepada KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng.

Saat Penulis mulai nyantri, Al Amien diasuh oleh KH Moh Idris Jauhari. Seorang ulama yang rendah hati, sangat berwibawa, zahid, mutawarri' (dapat menjaga harga diri). Ia menghidupi keluarganya dari hasil menjual buah kelapa yang berderet-deret ; pohon jangkung yang jadi pagar hidup pondok. Senyum mengembang. Tawa berderai. Perbawa menyelimuti semua sudut pondok. Itulah Kyai Idris. Sumber kedamaian dan ketenangan santri. Time table hidup bagi mereka.

Begitu besar pengaruh Kyai Idris, suara motor bebeknya pun mampu mengusir kantuk yang menggelayut di kelopak mata santri. Muwajahah jadi bergairah, hanya dengan kelebat bayangannya di midyafah ; ruang tamu kyai yang lokasinya dipisahkan lapangan bola dengan asrama santri. Seperti mengandung aliran listrik, tiada seorang santri pun yang tidak menghindari lintasan jalan di depan kediamannya. Santri mendengar dan taat. Sami'na wa atho'na.

Sebuah Ambiguitas

Suasana batin yang Penulis rasakan, pasti dirasakan oleh seluruh santri di pondok pesantren mana pun di nusantara ini. Adagium "sam'an wa tho'atan --saya dengar dan saya patuh" bukan semata deretan huruf. Ia menjelma mantra yang dirapal santri sejak di pondok hingga pulang ke tengah umat. Untaian kata itu menjelma landasan teologis santri dalam beribadah dan bermuamalah. Senakal-nakal santri, hatinya akan masygul jika disebutkan nama kyainya.

Semua itu bersumber, pertama, dari sosok sang kyai/ulama sebagai pengasuh dan, kedua, kitab turots yang day to day mereka pelajari, kritisi dan kuasai. Dua sumber nilai intrinsik itu menjadi pelindung pesantren dari pengaruh luar. Karena sifatnya yang lentur, nilai yang mendekati dogma itu, dalam perkembangannya mengalami sejumlah adjustment. Seperti kaidah "Al Muhafadzah Alal Qodimis Sholeh wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah."

Apa maknanya? "Menjaga nilai-nilai lama yang tetap baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik." Selain dari tradisi dan dinamika lingkungan sekitar, nilai-nilai baru bisa datang dari praktek kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas. Contohnya adalah sistem demokrasi yang berasal dari dunia modern. Kalau konsep a la Barat ini diamalkan dalam konteks hubungan santri-kyai, akan muncul kesan ambiguitas dan terjadinya crash of values.

Karena dampaknya yang sulit ditolak, maka tidak semua urusan diselesaikan lewat mekanisme demokrasi. Takzim kepada ulama, taat kepara guru, manut kebiasaan para awliya, termasuk ranah yang tidak mudah didekati dengan alat-alat dan pranata sosial modern seperti demokrasi. Dalam kaitan inilah, maka mekanisme demokrasi belum kompatibel untuk disebut lebih "ashlah" dari pada nilai lama. Dalam hal tertentu, ia malah potensial meruntuhkan.

Lihatlah, bagaimana santri bisa dengan bebas menolak kyai dalam forum konferensi NU di tingkat wilayah dan cabang. Puncaknya di muktamar. Di forum tertinggi setelah konferensi besar PBNU dan musyawarah nasional alim ulama itu, para santri yang biasanya "sami'na --saya dengar", bukan saja tidak "wa atho'na --kami taat," tapi juga berani mencatat daftar kekurangan dan "aib" sejumlah ulama yang akan maju di pemilihan Ketua Umum PBNU.

Kekurangan

Termasuk di muktamar ke-34 NU yang akan dihelat Desember bulan depan. Sebagai petahana, KH Said Aqil Siradj sudah mendiami ruang bawah sadar nahdliyin, khususnya para pengurus. Dari tingkat Pusat hingga Wilayah dan Cabang. Paling kurang, dalam satu dasawarsa terakhir, "dunia Kyai Said" sudah dikunjungi oleh para pemilik suara di muktamar. Ada yang sering, tapi mungkin ada juga yang belum pernah. Beragam alasan bisa dianalisis.

Mereka hafal benar siapa, perangai, keilmuan, dan sepak terjang Kyai Said. Sejumlah nama di PBNU, wilayah hingga cabang yang di muktamar Jombang adalah pendukung utamanya, di Lampung bisa menjadi penentang dan penolaknya. Sejumlah kyai khos dan ulama besar yang dulu merestuinya, boleh jadi tidak lagi di muktamar kali ini. Tanpa menyebut nama, sejumlah kader tenar yang ada di "pihak" KH Yahya Staquf, adalah para tim suksesnya di masa lalu.

Bahkan, Gus Yahya--sapaan KH Yahya Cholil Staquf adalah sahabat karib Kyai Said dan sesama santri langsung KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia yang memberi jalan. Dia yang merestui Gus Yahya menjadi calon Ketua Umum tapi dia juga yang menyaingi orang yang dia restui itu. Apa iya Gus Yahya dan timnya tidak kenal sangat mendalam Kyai Said? Kalau diminta mendaftar apa saja, mereka bisa paham di luar kepala kekurangan-kekurangan Sang Kyai.

Sangat mungkin, daftar kekurangan itu pulalah yang dalam beberapa bulan terakhir jadi bahan penolakan dan chatting di banyak jejaring sosial para pengurus NU. Bagi para pendukung fanatiknya, catatan kekurangan adalah medium muhasabah. Itu sisi positifnya. Dari sisi sebaliknya, akan menjadi kumpulan postulat untuk memberi sanggahan kepada pihak kompetitor. Membela dengan cara-cara sesuai niat di balik dukungan mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com