PEMERINTAH telah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pembentukan BPDP-KS merujuk pada UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
BPDPKS diatur memiliki peran penelitian, pengembangan, dukungan prasarana, promosi dan peremajaan kelapa sawit. Secara struktural, BPDP-KS berada di bawah Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab mengelola dana pengembangan kelapa sawit.
Badan ini dinilai cukup progresif dalam mendukung program Energi Baru Terbarukan melalui pengembangan B30 (30 persen minyak sawit dan 70 persen solar murni). Namun untuk mendukung program-program di sektor hulu untuk petani sangat minim.
Bapak Presiden dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu mengapresiasi kemandirian energi nasional dari hilirisasi sawit dan mengurangi impor minyak solar.
Namun Bapak Presiden lupa, dana hilirisasi itu bersumber dari hulu termasuk petani kelapa sawit yang dikelola BPDP-KS.
Karena itu, badan ini perlu di evaluasi di tengah rencana pemerintah ingin membubarkan beberapa lembaga lainnya setelah sebelumnya 18 lembaga telah dihilangkan oleh presiden. Baca juga: 18 Lembaga Dibubarkan, Tugasnya Dialihkan ke Kementerian dan Gugus Tugas
Dana yang dikelola BPDPKS sangat besar. Per Desember 2019, ada dana senilai Rp 47 triliun yang dikelola. Dana ini bersumber dari potongan biaya ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Meskipun dana yang dikelola BPDPKS besar, tetapi tak banyak masyarakat yang paham dengan penggunaan dana ini.
Dana yang seharusnya diperuntukan bagi petani sawit tidak memberi dampak luas bagi perbaikan tata kelola kebun petani.
Selain itu, sebagian besar petani di daerah-daerah penghasil sawit masih minim pengetahuan dalam mengelola sawit. Hal ini berdampak pada rendahnya produktivitas para petani.
Petani sawit swadaya dan plasma di beberapa kabupaten melakukan peremajaan sendiri tanpa bantuan dana dari BPDP-KS.
Sebagai contoh, petani sawit di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Siak memiliki tingkat produktivitas rendah. Petani hanya memiliki tingkat produktivitas 10-12 ton/ha/tahun.
Hasilnya pun selalu dijual ke tengkulak dengan disparitas harga sebesar 30 persen dari harga penetapan pemerintah. Pandemi covid-19 membuat mereka semakin terjepit.
Padahal, dari segi kuantitas, petani memiliki kekuatan besar.Posisi tawar petani sawit lemah di depan tengkulak atau perusahaan.
Luas perkebunan sawit rakyat, misalnya, mencapai 6,78 juta ha dari 16,3 juta ha (Ditjenbun 2020). Sebanyak 70 persen dari jumlah itu adalah petani swadaya. Sisanya, petani plasma yang bermitra dengan perusahaan (SPKS, 2020). Petani swadaya ini tak pernah mendapatkan sentuhan dana dari BPDPKS .
BPDPKS telah terkooptasi kepentingan perusahaan dan pengusaha sawit. Hal itu dapat dilihat dari komposisi narasumber komite pengarah yang dihuni oleh para konglomerat, seperti, Martias, T.P. Rahmat, dan Prijono Sugiarto.