Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Kalah

Kompas.com - 15/02/2024, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

BEGITU kata Nyai Ontosoroh kepada Minke. Akhirnya kalimat itu meluncur setelah mereka berjuang keras mempertahankan Annelis dari gurita kekuasaan kolonial Belanda.

Mereka berjuang, dan mereka kalah. Pahit. Namun tetaplah kenyataan yang harus (mau tak mau) mereka terima dan mereka jalani.

Kalimat itu ada pada novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Di novel itu digambarkan Nyai Ontosoroh menghadapi kekalahannya dengan tegar. Harga dirinya juga terjaga. Tidak kalah dengan martabat yang tercabik-cabik.

Namun itu novel. Nyai Ontosoroh hanyalah fiksi. Buatan sang pengarang. Bagaimana dengan kenyataan? Adakah orang yang tegar menerima kekalahan? Ada, walau kecil dan lihat dulu level kekalahannya. Namun sebagian besar dari kita benci kekalahan.

Contohnya, James Scott Connors atau Jimmy Connors (lahir 2 September 1952) dikenang sebagai legenda tenis dunia. Ia mantan petenis nomor satu dunia berkebangsaan Amerika Serikat.

Kehebatannya, ia memegang peringkat teratas Asosiasi Tenis Profesional (ATP) untuk rekor 160 minggu berturut-turut dari 1974 hingga 1977 dan total karier 268 minggu. Kelemahannya, ia benci kekalahan.

Titik lemah itulah yang membuat Connors tak mau kalah saat bertanding. Sebab, kekalahan membuatnya tak nyaman.

Ia merasa sia-sia latihan keras sepanjang hari. Baginya sulit untuk menerima kenyataan bahwa rival lebih hebat dalam berkompetisi.

Namun pada satu titik, ia harus menyadari bahwa dirinya harus merasakan kalah. Hidup tak selalu bertabur kemenangan. Meraih pujian. Disanjung. Ada kalanya sakit karena mengalami kekalahan diri sendiri.

Ingat puisi Chairil Anwar: Hidup hanya menunda kekalahan / Tambah terasing dari cinta sekolah rendah / Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan / Sebelum pada akhirnya kita menyerah (Puisi "Derai-derai Cemara").

Tafsirnya, kemarin menang, hari ini menang, esok menang, suatu saat akan sampai kekalahan di mana kita menyerah. Setidaknya usia akan mengantarkan kepada kekalahan. Kita menyerah walau sekuat apapun.

Jadi, tak perlu benci kekalahan karena suatu saat akan merasakan kekalahan itu. Justru selayaknya dipersiapkan akan datangnya kekalahan.

Persiapan ini niscaya akan membuat seseorang ikhlas menerima kekalahan. Menyambut kekalahan dengan lapang dada, rasional dan kedewasaan. Artinya negativisme dapat dihindari.

Kalah tak direspons dengan kekecewaan, amuk dan tindakan irasional.

Kata seorang psikolog, "Orang dewasa seharusnya lebih mampu untuk berpikir secara dewasa dan rasional sehingga lebih ikhlas untuk menerima kekalahan. Ini karena seseorang diikuti dengan belajar hal baru, nilai-nilai baru."

Kalah adalah pembelajaran. Setelah kalah ada nilai baru yang bakal dipetik. Kalah bukan akhir dari segalanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com