SIAPA kita? Pertanyaan bisa personal, untuk satu orang, atau kelompok. Jika kolektif, bisa kembali pada Indonesia secara khusus atau manusia di dunia.
Sebagai orang Indonesia kita kaitkan dengan usia Indonesia, usia negara atau kerajaan demi kerajaan di kepulauan ini. Iman kita juga tempat kembali, sebagaimana kita begitu religius.
Siapa kita, tergantung selera dan kemampuan menjawabnya: negara, agama, manusia.
Siapa kita orang Indonesia ini? Ini bukan pertanyaan masa remaja yang sedang mencari jati diri, tetapi pertanyaan umum yang biasa diajukan oleh para pemimpin dan setiap warga negara.
Setiap menghadapi hal-hal genting, peristiwa yang menentukan, dan keputusan-keputusan krusial, kita akan selalu kembali bertanya, siapa kita. Jawaban dari siapa kita akan menentukan sikap, langkah, dan pilihan masa depan.
Siapa kita adalah soal identitas, jati diri, menempatkan diri di dunia, masa lalu, dan masa depan.
Sama seperti pertanyaan individu, siapa kita akan kembali pada asal muasal, alamat rumah, orangtua, pekerjaan, kawan-kawan, dan status sosial. Siapa kita bukan soal diri sendiri, tetapi orang-orang sekitar di masa lalu dan kini.
Pertanyaan siapa kita menyangkut entitas bangsa juga tidak berbeda. Kita akan kembali pada masa lalu.
Siapa kita ditentukan sejauh mana kita kembali pada sejarah sendiri. Pra-kolonial, selama penjajahan Eropa, ketika sudah merdeka, dan saat ini bagaimana.
Siapa kita menyangkut sejarah, status sosial, ekonomi, dan politik.
Darimana kita berasal? Para pendiri bangsa selalu bertanya itu. Di awal abad dua puluh para penggerak kemerdekaan selalu bertanya itu setelah menerima pendidikan yang membuka wawasan: pendidikan Barat hasil kebijakan politik etis Belanda, Timur Tengah, atau tradisional lain di masing-masing budaya dan suku.
Sebagian tokoh-tokoh mengembalikan jati diri pada suku masing-masing, bahasa ibu, dan kampung halaman. Refleksi itu tercermin dalam berbagai perkumpulan dan gerakan kesadaran di awal abad dua puluh.
Kita semua berasal dari berbagi suku yang berbeda, sedang berkumpul menjadi Indonesia. Sumpah Pemuda menegaskan jati diri baru, persatuan suku, bahasa, dan kesadaran kebangsaan.
Sukarno dan Muhammad Yamin, misalnya, tegas mengembalikan siapa kita dengan darimana kita berasal.
Generasi waktu itu tidak hanya dibentuk oleh bacaan-bacaan tentang paham kemajuan dan ideologi Eropa untuk menjadi manusia rasional dan kritis model Eropa, tetapi para pengerak kemerdekaan juga menggali identitas diri sendiri dengan kembali pada sejarah sebelum kolonial. Pilihan para tokoh adalah kembali ke Majapahit.