KOMPAS.com - Dibangun dan diresmikan pada 17 Agustus 1961, Monumen Nasional atau Monas bukan hanya sebuah landmark, melainkan juga sebuah saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Melalui bentuknya yang unik dan makna sejarahnya, Monas menjadi sebuah jendela untuk mengintip masa lalu, mengenang peristiwa heroik selama revolusi 1945.
Namun, di balik keindahannya, Monas mengandung beragam fakta menarik yang masih jarang diketahui.
Baca juga: Kapan Monas Dibangun?
Proyek pembangunan Monumen Nasional dilaksanakan selama 14 tahun, dimulai pada Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-16 pada 17 Agustus 1961, dan baru dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975.
Acara pembukaan resmi Monas dihelat dengan kehormatan, dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto.
Dengan demikian, perjalanan Monas dari fase konstruksi hingga ke tahap pembebasan untuk dikunjungi oleh masyarakat membutuhkan waktu cukup panjang.
Di puncak Monas, terdapat simbol lidah api yang menyerupai nyala api keemasan.
Lidah api ini terbuat dari perunggu, memiliki tinggi mencapai 17 meter, dan diameter 6 meter, dengan berat total mencapai 14,5 ton.
Permukaan luar dari lidah api ini dilapisi dengan lapisan emas berbobot 45 kilogram, menambah kegemerlapan dan keindahan Monas.
Namun, terdapat fakta unik lainnya di balik keindahan lidah api Monas.
Pada 1995, dalam rangka perayaan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, lapisan emasnya ditambahkan hingga mencapai berat 50 kilogram.
Menariknya, sumbangan sebagian besar emas yang melapisi puncak Monas berasal dari Teuku Markam, seorang saudagar asal Nanggroe Aceh Darussalam.
Baca juga: Membentangkan 1 Kilometer Kain Persatuan di Monas...
Desain Monumen Nasional dihasilkan melalui sebuah sayembara yang diadakan pada 1995 oleh komite nasional.
Dari 51 karya yang dikumpulkan, desain ditetapkan adalah rancangan Frederich Silaban.
Frederich Silaban bukanlah sosok yang asing dalam dunia arsitektur. Selain merancang Monas, ia juga menjadi perancang Masjid Istiqlal dan Stadion Gelora Bung Karno.