KOMPAS.com - Dalam periodisasi sastra Indonesia, Periode Pujangga Baru merupakan satu periode yang penting.
Periode Pujangga Baru muncul setelah periode Balai Pustaka. Sebutan Pujangga Baru berawal dari sebuah majalah sastra dan budaya "Poedjangga Barne" yang terbit 29 Juli 1933.
Sastrawan yang menandai periode ini antara lain Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Asrul Sani, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, J.E Tatengkeng, Selasih, dan Mozasa.
Salah satu karya paling terkenal pada periode ini adalah novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Novel tersebut menyiratkan polemik sastra dan kehidupan modern.
Dilansir dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, hal-hal yang dibicarakan di dalam karya-karya angkatan ini berkisar pada persoalan kebangsaan dan juga persoalan emansipasi wanita.
Sastrawan periode Pujangga Baru ingin lepas dari kekangan Belanda. Mereka ingin berkarya tanpa harus menuruti aturan Balai Pustaka bentukan kolonial.
Baca juga: Periode Sastra Balai Pustaka
Menurut Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017), Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Ciri-ciri karya sastra Pujangga Baru yang membedakan dengan periode lainnya adalah sebagai berikut: