Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Belajar dari Kasus Brigadir J, Indonesia Butuh Sistem Otopsi Mayat yang Independen dan Imparsial

Kompas.com - 27/08/2022, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Yoni Syukriani

HASIL otopsi ulang atas jasad Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dipublikasikan Senin lalu menunjukkan tak ada tanda-tanda penyiksaan di tubuh korban pembunuhan berencana ini.

Tim dokter forensik menjelaskan ada lima luka peluru masuk dan empat luka keluar. Satu peluru bersarang di tulang belakang.

Ada dua luka fatal pada jasad Yosua, yakni di kepala dan satu di dada. Luka fatal itulah yang menyebabkan dia meninggal.

Dibanding otopsi pertama, terdapat perbedaan jumlah luka tembak. Versi otopsi pertama polisi ada tujuh luka.

Pengacara keluarga Brigadir Yosua memprotes karena mereka tidak mendapatkan hasil otopsi – padahal mereka yang mengajukan – dan ada temuan yang berbeda tersebut.

Baca juga: Ahli: Otopsi Bisa Jadi Cara Pelajari Virus Corona, Ini Penjelasannya

Masalah kontroversi otopsi ulang jasad itu hanya pucuk dari gunung es masalah serius kedokteran forensik di Indonesia selama bertahun-tahun: negara berpenduduk 270 juta ini belum memiliki sistem pemeriksaan kematian yang andal, objektif, independen (bebas dari tekanan), dan imparsial (tidak memihak).

Padahal, sejak 2007 WHO telah menyuarakan pentingnya Civil Registry and Vital Statistics (CRVS). Sistem ini pada intinya mengharuskan pemeriksaan atas semua kematian yang terjadi.

Indonesia adalah negara besar yang belum memiliki sistem pemeriksaan kematian yang adekuat dan memenuhi standar internasional. Keikutsertaan Indonesia dalam CRVS sebatas sampling, belum berupa registry.

Maksudnya, Indonesia hanya menguji petik atau kasus tertentu, misalnya hanya angka kematian ibu dan bayi di lokasi tertentu saja. Sedangkan registry itu pemeriksaan dan pencatatan seluruh kasus kematian (semuanya diperiksa bukan berarti semuanya harus diotopsi).

Jika tidak ada perbaikan sistem pemeriksaan kematian, masalah serupa akan sering muncul.

Masalah praktik kedokteran forensik di Indonesia

Penelitian saya dan tim menunjukkan ada delapan kategori masalah yang dialami kedokteran forensik di Indonesia:

(1) bagaimana praktik dan cakupan kedokteran forensik didefinisikan, (2) posisi kedokteran forensik di dalam sistem hukum, (3) posisinya dalam sistem kesehatan, (4) bagaimana independensi dan imparsialitas dipahami, (5) ketersediaan dan sistem rekrutmen sumber daya manusia, (6) bagaimana pendidikan dijalankan, (7) sejauh mana aktivitas riset berlangsung, dan (8) bagaimana praktik kedokteran forensik dibiayai. Saya membahas beberapa saja yang paling mendasar.

Istilah “kedokteran forensik” saat ini diartikan sempit menjadi “praktik otopsi untuk kepentingan pengadilan” atau “praktik otopsi yang diminta penegak hukum”.

Peran kedokteran forensik selain untuk penegakan hukum pidana juga dapat dimanfaatkan secara luas untuk bentuk penegakan keadilan lainnya seperti penyelesaian kasus hukum perdata, hukum administrasi, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Baca juga: Menilik Kasus Alec Baldwin, Apa Itu Peluru Kosong dan Kenapa Bahaya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com