Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Belajar dari Kasus Brigadir J, Indonesia Butuh Sistem Otopsi Mayat yang Independen dan Imparsial

Kompas.com - 27/08/2022, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bentuk pertanggungjawaban tersebut harus diwujudkan negara dalam bentuk sistem pemeriksaan trauma dan kematian. Sistem pemeriksaan trauma dan kematian tidak harus diterjemahkan secara sempit menjadi penyidikan oleh kepolisian, karena tidak semua trauma dan kematian terkait tindak kriminal.

Sebagian besar kematian justru bukan berada di wilayah tanggung jawab kepolisian, melainkan ada di ranah masalah kesehatan. Suatu kematian yang awalnya disangka akibat tindak kriminal dapat terbukti wajar, atau sebaliknya, yang semula dikira wajar ternyata terindikasi akibat kejahatan.

Baca juga: Melihat Sisi Lain Pelaku Pembunuhan dari Sisi Psikologis

Dalam perspektif ini, suatu negara akan dinilai maju jika menjalankan fungsi pemeriksaan kematian dijalankan oleh institusi dan profesional yang independen.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat pemeriksaan kematian dilaksanakan oleh coroner atau medical examiner yang bertanggung jawab langsung kepada publik. Bahkan di banyak negara bagian jabatan coroner dipilih masyarakat.

Medical examiner adalah dokter yang ditunjuk untuk memeriksa kematian dan menentukan sebab kematian, dan dapat juga menjalankan tugas coroner. Tugas mereka adalah memeriksa pada tahap awal, menyeleksi apakah kematian tersebut diduga dalam kategori cara kematian (wajar atau tidak wajar) dan perlu diotopsi atau tidak.

Kematian wajar hanya jika disebabkan oleh penyakit.

Sedangkan kematian tidak wajar ada empat, yaitu pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan undetermined (belum jelas karena belum diperiksa atau sudah diperiksa tapi tidak dapat disimpulkan). Setelah itu, mereka memeriksa jenazah lebih mendalam jika perlu.

Profesi tersebut menjalankan tanggung jawab negara untuk memenuhi rasa keadilan warga negaranya dengan cara menjawab pertanyaan “mengapa seseorang mati” dan “bagaimana cara dia mati”, selain turut berperan dalam upaya mencegah trauma dan penyakit.

Pengambilan kesimpulan cara kematian “wajar” tidak terlalu masalah jika kematian terjadi pada orang yang sempat dirawat di rumah sakit. Yang sulit adalah kematian terjadi di luar fasilitas kesehatan.

Karena itu, meski belum tentu terkait pidana, kematian di luar fasilitas kesehatan harus diperiksa. Belum tentu harus diotopsi, tapi harus diperiksa. Jika tidak diperiksa dengan baik dan dokter klinik mengeluarkan surat kematian lalu di kemudian hari ada kecurigaan tidak wajar, maka dokter tersebut menghadapi risiko dituduh menutup-nutupi kematian tidak wajar.

Hasil otopsi Brigadir Yosua dan kasus-kasus sejenis tidak akan menjadi kontroversi seandainya Indonesia memiliki sistem pemeriksaan kematian yang independen dan imparsial. Itulah yang kita butuhkan.

Yoni Syukriani

Dosen bidang Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal dan bidang Bioetika Humaniora, Universitas Padjadjaran

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Kenapa Indonesia butuh sistem otopsi mayat yang independen dan imparsial? Belajar dari kasus Brigadir Yosua". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com