Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Pandemi Covid-19, Ini 6 Hal terkait Virus Corona yang Masih Jadi Misteri

Kompas.com - 02/03/2021, 19:30 WIB
Bestari Kumala Dewi

Penulis

Sumber CNN,aamc

KOMPAS.com - Hari ini, tepat satu tahun kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan oleh Presiden Jokowi. Sejak itu, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat.

Hingga 1 Maret 2021, tercatat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia adalah 1.341.314 orang.

Pada 31 Desember 2019, ketika China pertama kali melaporkan kasus virus corona ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit itu digambarkan sebagai jenis pneumonia baru yang misterius. Ia bahkan tidak memiliki nama.

Dalam dua minggu, para ilmuwan China telah mengidentifikasi urutan genom virus, kode genetik yang menyusun virus.

Dalam tiga minggu, alat tes pertama telah dibuat dan kemudian dibagikan oleh WHO. Dan lebih dari 11 bulan sejak virus dilaporkan ke WHO, orang pertama divaksinasi, menjadikan suntikan vaksin tercepat yang pernah dikembangkan.

Baca juga: Kilas Balik Setahun Covid-19 di Indonesia, Pengumuman hingga Vaksinasi

Para ilmuwan mengatakan, kecepatan mereka mempelajari virus corona belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga kini, banyak hal terkait Covid-19 yang telah berhasil diungkap para ilmuwan.

Meski demikian, masih banyak juga yang belum diketahui tentang virus corona. Salah satunya, kapan pandemic Covid-19 akan berakhir?

"Kami telah belajar banyak sekali, tetapi untuk memahami segala sesuatu secara mendetail, kami masih membutuhkan lebih banyak waktu," kata Maureen Ferran, seorang profesor biologi di Rochester Institute of Technology.

"Virus ini akan membuat ahli virologi dan pejabat kesehatan masyarakat sibuk selama beberapa dekade."

1. Bagaimana penularan Covid-19 tanpa gejala terjadi?

Penyebaran tanpa gejala: Kemampuan SARS-CoV-2, virus di balik pandemi Covid-19, sangat luar biasa dalam menularkan dari orang ke orang.

Hingga Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa prevalensi penyebaran tanpa gejala tetap menjadi misteri.

Sementara hasil penelitian selama setahun terakhir menunjukkan, sekitar setengah dari semua kasus Covid-19 ditularkan dari orang tanpa gejala (OTG)

“Alasan virus corona dapat menyebar tanpa gejala masih belum diketahui,” kata Ross McKinney Jr., MD, kepala ilmuwan di AAMC dan spesialis penyakit menular.

“Gejala utamanya disebabkan oleh reaksi kekebalan. Dengan SARS-CoV-2, beberapa orang pasti terinfeksi, tetapi reaksi kekebalan tubuh mereka tidak cukup [untuk memicu gejala]."

Baca juga: Penularan Virus Corona dari Orang Tanpa Gejala dan Tantangannya

2. Berapa banyak dosis virus corona sampai bisa menginfeksi?

Para ilmuwan mengatakan, cara utama penyebaran virus adalah melalui droplet atau tetesan yang dikirim ke udara saat seseorang berbicara, batuk atau bersin. Penggunaan masker wajah, mencuci tangan, dan menjaga jarak terbukti dapat membantu mencegah penyebarannya.

Tetapi beberapa ilmuwan lain berpendapat, bahwa virus corona juga disebarkan oleh aerosol - partikel yang jauh lebih kecil yang dapat bertahan di udara selama berjam-jam dan menempuh jarak yang jauh.

Pertanyaan yang muncul, menurut Maureen Ferran, profesor biologi di Rochester Institute of Technology adalah, berapa banyak virus corona yang dibutuhkan seseorang sampai bisa terinfeksi? Hingga kini hal itu belum diketahui.

3. Mengapa pengujian belum bisa dilakukan secara teratur?

Selain tindakan pencegahan seperti memakai masker dan menjaga jarak, cara terbaik untuk mengekang penyebaran virus SARS-CoV-2 adalah dengan mengisolasi orang yang terinfeksi.

Untuk melakukan ini secara efektif, pengujian yang akurat dan memberikan hasil yang cepat sangat penting.

Tetapi bahkan setelah setahun pandemi, masih banyak orang tidak dapat diuji secara teratur untuk mengidentifikasi dan menghentikan wabah Covid-19 lebih awal.

Hal ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, berulang kali epidemiolog mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia sejak awal terlalu lambat dalam melakukan tracing dan testing.

Michael Mina, MD, PhD, asisten profesor epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health dan anggota fakultas di Center for Communicable Disease Dynamics, telah mengadvokasi pemerintah AS untuk menyetujui dan mendistribusikan alat pengujian di rumah.

“Meskipun rapid test antigen tidak sepeka tes polymerase chain reaction (PCR), tes tersebut dirancang untuk mendeteksi virus pada saat seseorang paling menular,” jelas Ross McKinney Jr., MD, kepala ilmuwan di AAMC dan spesialis penyakit menular.

Baca juga: Epidemiolog Desak Sistem Testing Covid-19 Diperbaiki Sebelum Pandemi Makin Memburuk

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com