Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Psikologi Jelaskan Penyebab Masyarakat Tak Patuh Protokol Corona Covid-19

Kompas.com - 03/06/2020, 13:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Anastasia Heni

TAGAR #IndonesiaTerserah belakangan sering muncul dalam perbincangan publik di media sosial sebagai sarana penyaluran rasa frustrasi dan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.

Pengguna sosial menyertakan tagar ini dalam menggambarkan ketidakpedulian masyarakat terhadap upaya pembatasan jarak dan kebijakan dari pemerintah yang tidak konsisten dalam penanganan pandemi.

Berbagai bentuk tindakan berisiko masyarakat banyak diberitakan seperti kumpul-kumpul di penutupan gerai McDonald’s di Jakarta, penumpang pesawat membludak hingga pasien COVID-19 yang menolak dirawat bahkan berusaha kabur dari rumah sakit.

Sementara laju jumlah kasus positif terus meningkat dan kematian tenaga medis yang tinggi.

Ini terjadi di atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang meragukan, bahkan tidak konsisten.

Ilmu psikologi sosial kesehatan menjelaskan bahwa ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan sebagian besar terjadi karena kurangnya pemahaman mereka terhadap bahaya penyakit dan manfaat penanganan dan besarnya hambatan dalam akses kesehatan. Pemerintah punya andil besar di sini.

Landasan perilaku

Ahli-ahli psikologi sosial telah mengembangkan bermacam model untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku-perilaku terkait kesehatan, terutama dalam menggunakan sarana kesehatan.

Pada 1950-an, beberapa psikolog sosial di Amerika Serikat (AS) mulai mengembangkan Health Belief Model (HBM) yang masih digunakan secara luas dalam riset perilaku kesehatan hingga kini.

HBM dapat dilihat sebagai perpaduan pendekatan filosofis, medis, dan psikologis untuk menjelaskan kepatuhan atau ketidakpatuhan masyarakat dalam melakukan upaya kesehatan.

Model ini dikembangkan untuk mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan baik jangka panjang maupun jangka pendek.

HBM terdiri atas enam komponen:

  1. Persepsi kerentanan (perceived susceptibility), yaitu bagaimana seseorang memiliki persepsi atau melihat kerentanan dirinya terhadap penyakit.
  2. Persepsi keparahan (perceived severity), yaitu persepsi individu terhadap seberapa serius atau parah suatu penyakit.
  3. Persepsi manfaat (perceived benefit), yaitu persepsi individu akan keuntungan yang ia dapat jika melakukan upaya kesehatan.
  4. Persepsi hambatan (perceived barriers), yaitu persepsi individu akan adanya hambatan dalam melakukan upaya kesehatan.
  5. Petunjuk bertindak (cues to action), yaitu adanya kejadian atau dorongan untuk melakukan upaya kesehatan yang berasal dari kesadaran diri atau dorongan orang lain; misalnya iklan kesehatan atau nasihat dari orang lain.
  6. Kemampuan diri (self-efficacy), yaitu persepsi individu tentang kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang menginginkan perubahan dalam kesehatannya dan merasa mampu, akan melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mengubah perilaku kesehatannya; demikian pula sebaliknya.

HBM menjelaskan kenapa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan pandemi COVID-19.

Di satu sisi, masyarakat kurang memiliki pemahaman seberapa rentan mereka tertular COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat melakukan pencegahan, dan kurangnya petunjuk untuk bertindak.

Di sisi lain masyarakat menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses pada fasilitas kesehatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com