Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Samudra Hindia Pengaruhi Masalah Iklim di Australia, Kenapa?

Kompas.com - 10/03/2020, 20:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Perubahan iklim semakin memengaruhi suhu permukaan di Samudra Hindia. Kondisi ini membuat bagian tenggara benua Australia mengalami suhu yang semakin panas dan kering.

Penelitian ini dikoordinir para peneliti di Australian National University (ANU) dan ARC Centre of Excellence for Climate Extremes.

Melansir Science Daily, Selasa (10/3/2020), penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang variasi iklim dan pengelolaan risiko yang disebabkan variabilitas Samudra Hindia.

Peneliti utama, Profesor Nerilie Abram mengatakan fenomena di Samudra Hindia, yang dipelajari oleh timnya, dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD).

Baca juga: Samudra Hindia Selatan Jawa Diguncang Gempa 2 Kali, Kita Layak Waspada

Fenomena ini memainkan peran penting dalam kekeringan hebat dan mencatatkan suhu terpanas di permukaan Bumi pada tahun lalu.

"Peristiwa 2019 yang dikenal sebagai Indian Ocean Dipole yang positif adalah peristiwa yang besar," kata Profesor Abram dari Research School of Earth Sciences and the Centre of Excellence for Climate Extremes di ANU.

Profesor Abram mengatakan fenomena ini memutus anggapan, musim dingin dan musim semi di Australia bagian selatan sebagai biang dari kondisi panas dan kering di benua ini.

Sebab, kekeringan dan kondisi panas yang terjadi cukup lama tersebut telah menyebabkan kebakaran hebat yang melanda hutan-hutan di Australia.

Baca juga: Kebakaran Telah Melahap Seperlima Hutan di Australia

Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature ini, mengungkapkan secara histroris peristiwa ini jarang terjadi secara historis.

Namun, ternyata belakangan peristiwa itu menjadi lebih sering terjadi dan intens selama abad ke 20.

Situasi ini diperkirakan akan semakin memburuk jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.

Tim peneliti, yang melibatkian para ilmuwan dari lembaga-lembaga di Australia, Amerika Serikat, Indonesia, Taiwan dan China menggunakan catatan karang dari Samudra Hindia, tepatnya di perairan yang dilalui garis ekuator timur.

"Secara historis, peristiwa kuat seperti yang kita saksikan pada 2019 sangat jarang terjadi. Selama rekonstruksi dimulai pada tahun 1240, kita hanya melihat 10 peristiwa ini, tetapi empat di antaranya telah terjadi hanya dalam 60 tahun terakhir," jelas Profesor Abram.

Menurut anggota peniliti lainnya, Dr Nicky Wright, penelitian ini menyoroti, bagaimana Samudra Hindia dapat menampung peristiwa alam yang bahkan lebih kuat dari kondisi ekstrem yang terjadi pada 2019 lalu.

Dr. Wright mengatakan pada tahun 1675, sebuah peristiwa alam terjadi lebih kuat dari eristiwa terkuat yang sejauh ini selama diamati dalam catatan instrumental, yaitu pada tahun 1997.

Baca juga: Perubahan Iklim Kian Ancam Pinus King Billy di Australia, Ini Sebabnya

"Dampak mengerikan dari peristiwa parah yang lebih tua ini dapat dilihat dalam dokumen sejarah dari Asia," kata Dr Wright dari esearch School of Earth Sciences and the Centre of Excellence for Climate Extremes di ANU.

Menurutnya, peristiwa pada tahun 1675 menunjukkan jenis kondisi iklim ekstrem yang memungkinkan terjadi saat itu. Bahkan, tanpa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Peristiwa yang kemudian menyebabkan Indian Ocean Dipole yang positif menjadi lebih kuat dan lebih umum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com