Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Politisasi MK dan Relevansi Doktrin "Judicial Activism" di Tahun Pemilu

Kompas.com - 19/10/2023, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERKARA pengujian konstitusionalitas ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berakhir sudah dengan dibacakannya Putusan No.90/PUU-XXI/2023.

Sebelumnya telah dibacakan 12 putusan dengan dua variasi permohonan. Pertama, perihal batas usia minimal 40 tahun calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, perihal syarat alternatif pernah atau berpengalam menjadi penyelenggara negara yang dipilih melalui pemilu (elected officials).

Putusan ini menjadi sejarah kemunduran berkonstitusi (constitutional backsliding) oleh Mahkamah Konstitusi karena inkonsistensi hakim, pertimbangan hukum yang dangkal serta kuatnya kondisi konflik kepentingan (conflict of interest).

MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu syarat calon presiden dan wakil presiden “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Ada beberapa catatan kritis dalam putusan ini. Pertama, terkait ketentuan batasan usia Capres dan Cawapres sebagai open legal policy yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sebagai suatu political question seharusnya diputuskan dalam ranah legislasi.

Sebagaimana putusan dengan pokok permohonan yang sama, yakni Putusan No.29/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada hari yang sama pula, Mahkamah menerapkan konsep open legal policy. Namun berbeda pendiriannya pada Putusan No.90/PUU-XXI/2023.

Inkonsistensi hakim dalam perkara ini menunjukan adanya problem objektiftas dan kemandirian hakim di tengah pengaruh pusaran politik yang sangat besar dalam perkara ini.

Catatan kedua, perihal kedudukan hukum (legal standing) pemohon yang tidak diterapkan secara ketat oleh MK seperti pada praktik-praktik sebelumnya.

Pemohon yang merupakan mahasiswa asal Solo, dalam permohonnya tidak mampu menjelaskan kerugian konstitusionalnya secara komprehensif. Hanya karena motivasi keberhasilan Gibran Rakabuming sebagai Wali Kota Solo membuat beberapa hakim melunak.

Padahal kerugian konstitusional semacam ini tidak bersifat spesifik dan aktual serta dialami langsung oleh pemohon, sebagaimana standar kategori kerugian konstitusional untuk menentukan legal standing pemohon yang ditetapkan MK pada perkara-perkara sebelumnya.

Secara tidak langsung konflik kepentingan sangat kental, ketika Mahkamah mengabulkan permohonan ini yang secara tegas menyatakan personafikasi Gibran Rakabuming sebagai dalil utama.

Peran Ketua MK Anwar Usman juga tidak bisa dipungkiri. Fakta yang diungkapkan Hakim Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya menjelaskan beberapa kejanggalan Anwar Usman dalam proses RPH, yang tindakannya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran wajar.

Catatan berikutnya terkait amar putusan yang tidak berdasarkan alasan-alasan permohonan, dengan menambah frasa “sedang”. Padahal alasan permohonan (petitum) jelas-jelas hanya bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.

Tidaklah tepat ini untuk mengakomodasi permohonan “ex aequo et bono” (putusan yang seadil-adilnya). Pergeseran amar dari dasar permohonan dapat dilakukan sepanjang masih memiliki ketersambungan dengan petitum.

Bentuk amar putusan ini juga menunjukan giat MK yang bersikap positive legislature selayaknya pembentuk undang-undang dengan membuat norma baru.

Masalahnya utamanya ialah amar putusan dihasilkan oleh pertimbangan hukum yang dangkal serta sarat kepentingan politis pragmatis. Dalam batas penalaran wajar, putusan ini berkonsekuensi pada upaya melanggengkan dinasti politik Jokowi.

Kartelisasi Mahkamah

Kemudian, sikap para pihak, yakni DPR dan presiden sebagai pembentuk undang-undang dalam perkara ini dengan melihat keterangannya, terkesan tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab institusional, bahwa perkara ini sendang menguji kualitas konstitusional produk yang mereka hasilkan.

Sebaliknya sikap pembentuk undang-undang dalam perkara ini menyerahkan sepenuhnya kepada putusan Mahkamah.

Padahal secara institusional patut adanya resistensi dari pembentuk undang-undang seperti menekankan bahwa ketentuan yang diuji merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selayaknya menjadi ranah legislatif.

Seakan-akan MK menjadi “keranjang sampah” atas produk hukum yang mereka hasilkan dan menyia-nyiakan proses legislasi yang sudah dijalani.

Praktik ini patut diduga sebagai rangkaian “konspirasi politik” yudikatif-legislatif-eksekutif memuluskan penurunan batas usia Capres dan Cawapres serta syarat alternatifnya untuk dikabulkan oleh MK demi kepentingan koalisi Pilpres 2024.

Pasalnya, agenda pendaftaran paslon semakin dekat didukung oleh fakta yang terungkap dalam dissenting opinion Hakim Saldi Isra bahwa ada “beberapa hakim dari lima hakim seperti tengah berpacu dengan tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan para hakim ini terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat memutus perkara”.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com