Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Politisasi MK dan Relevansi Doktrin "Judicial Activism" di Tahun Pemilu

Kompas.com - 19/10/2023, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara implisit, pengaruh kepentingan politik terhadap hakim konstitusi sangat erat dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023.

Fenomena Yudisialisasi Politik Oligarki (Wiratraman, 2023) mencerminkan bekerjanya autocratic legalism (Scheppele, 2018) dengan rusaknya independensi peradilan (the undermined judicial independence).

Konsekuensinya, keadaan yang bertolak belakang dengan hakikat konstitusionalisme ini akan berujung pada the end of history the constitutional democratic state.

"Judicial activism" Mahkamah Konstitusi

Sesuai kontruksi ketatanegaraan UUD NRI 1945, pilar kekuasaan kehakiman memiliki peranan penting dalam menjaga prinsip demokrasi dan negara hukum.

Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi yang setidaknya mengambarkan bahwa MK memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy).

Pada pelaksanaan fungsi ini dalam penalaran yang wajar, MK juga disebut Mahkamah Politik (Saldi Isra, 2021) karena berwenang mengadili perkara politik seperti memutus pengujian UU (judicial review), sengketa hasil pemilu/pilkada, pembubaran parpol yang merupakan perkara yang lahir dari proses politik-demokratik.

Realitas eratnya relasi kelembagaan hukum dengan politik, sejalan dengan pendapat Arthur Schlesinger yang berpendapat bahwa sebenarnya hukum (dalam hal ini adalah pengadilan) dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Maka, pengadilan bisa saja menggunakan kekuatan politiknya untuk membuat norma yang baru asalkan untuk tujuan mulia. (Keenan Kmiec, 2004)

Dalam praktik yudisial hal tersebut dikenal dengan Judicial Activism, yakni praktik yudisial melalui kewenangan judge made law dapat mengontrol dan memberikan pengaruh terhadap institusi politik dan administratif (Galligan, 1991), dengan keluar dari prinsip umum hukum prosedural demi menggali keadilan substantif melalui suatu tindakan terobosan hukum (rule breaking).

Hal ini dilakukan atas keadaan di mana kebijakan hukum yang dihasilkan oleh lembaga demokratik (legislatif/eksekutif) tidak demokratis atau bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi.

Sehingga sangat rasional jika praktik judicial activism merupakan bagian dari penguatan demokrasi oleh lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.

Dalam kasus pemilu, MK telah beberapa kali menggunakan kewenangan memutus sengketa hasil pemilu dengan corak judicial activism. Objek perkaranya sebenarnya masuk dalam ranah perkara sengketa proses yang kewenangannya dimiliki oleh Bawaslu seperti mempersoalkan syarat calon kepala daerah.

Hal itu terlihat dalam Putusan No 57/PHPU.D VI/2008 dengan amar memerintahkan PSU (Pilkada Kab.Bengkulu), Putusan No 132/PHP.BUP-XIX/2021 amar menyatakan diskualifikasi paslon (Pilkada Kab Boven Digoel), Putusan No 135/PHP.BUP-XIX/2021 amar menyatakan diskualifikasi paslon (Calon Bupati Terpilih memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat), dan Putusan No.145/PHP.BUP-XIX/2021 amar menyatakan diskualifikasi paslon (Pilkada Kab. Yalimo).

Selain itu, praktik Judicial Activism juga dapat dilihat ketika MK memutus perkara memilih cukup menggunakan KTP pada Perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 dan Pengujian Perppu pertama kali dalam perkara No. 138/PUU-VII/2009.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan logis ketika Mahkamah konstitusi membebaskan dirinya dari belenggu prosedural untuk menemukan keadilan substantif demi tegaknya demokrasi dan negara hukum dengan menggunakan pendekatan judicial activism.

Hal itu selaras dengan pandangan Zainal Arifin Mochtar (2022) yang mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan diharapkan menerapkan semangat judicial activism yang berarti berani mengambil sikap atas permasalahan yang tengah ditinjau dengan netral dan berpihak pada konstitusi serta kepentingan publik.

Kooptasi Independensi MK

Berbagai upaya yang dinilai sebagai kooptasi Independensi MK dapat dilihat ketika kritik publik terhadap potensi konflik kepentingan akibat status Anwar Usman, Ketua Hakim konstitusi yang memiliki relasi keluarga dengan Presiden Jokowi.

Ketakutan publik tersebut pada akhirnya tercermin dalam Putusan No.90/PUU-XXI/2023 yang penuh kejangalan serta muatan politis sebagaimana uraian di atas.

Kemudian jika ditarik kebelakang terjadi pemberhentian hakim konstitusi Aswanto secara politik oleh DPR RI beberapa waktu lalu, sebagaimana argumen Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto yang mengungkapkan pemberhentian dilakukan karena Aswanto kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.

Pola kooptasi independensi MK kembali dilakukan melalui pengangkatan Arsul Sani, politikus aktif PPP sekaligus Anggota Komisi III sebagai Hakim Konstitusi menggantikan Wahidudin Adams yang sarat akan conflict of interest.

Secara terang-terangan dalam forum fit and proper test (26/9/2023) para anggota Komisi III menunjukan sikap keberpihakan melalui dialog yang cenderung tidak substantif seperti hanya membicarakan mengenai hubungan pribadi sesama kolega anggota Komisi III serta secara implisit mendukung menjadi representasi “politik” DPR di Mahkamah Konstitusi.

Akibatnya, forum tersebut terlihat tidak imparsial dan minim pengujian kualitas dan kapabilitas calon hakim konstitusi Arsul Sani.

Potret penjaringan hakim konstitusi tersebut tidak sejalan dengan amanat UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel (Pasal 20 ayat 2).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com