Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Politisasi MK dan Relevansi Doktrin "Judicial Activism" di Tahun Pemilu

Kompas.com - 19/10/2023, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kemudian pengaturan preventif terhadap konflik kepentingan yang tidak diindahkan sebagaimana mengikat anggota parlemen, yakni UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Dalam UU tersebut, anggota DPR yang memiliki konflik kepentingan dalam penentuan keputusan atau pembahasan suatu masalah, harus memberikan pernyataan dan tidak bisa ikut mengambil keputusan.

Begitupun substansi sama diatur dalam Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR.

Tafsir bahwa hakim konstitusi usulan DPR harus membawa kepentingan politik DPR adalah bagian dari upaya kooptasi independensi MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

Sebab pada dasarnya mekanisme tersebut merupakan tata cara ketatanegaraan guna memperkuat prinsip checks and balance dengan tetap memegang teguh independensi dan imparsialitas MK sebagai pengadilan konstitusi.

Pada masa tahun politik ini, integritas Hakim menjadi “nadi” kehidupan harapan dan kepercayaan publik bagi suatu pengadilan, sebab pengadilan yang berfungsi sebagai penegakan hukum dan keadilan akan terwujud jika para penggeraknya, yakni Hakim memiliki rasa kejujuran dalam menjalankan tugas. Integritas soal kualitas kejujuran dan memiliki moral-moral yang kuat (Hornby, 1995).

Ancaman Mahkamah Konstitusi dalam Pemilu

Peradilan memiliki peran yang signifikan dalam membenahi sistem politik karena kemampuannya melindungi demokrasi. Karena itu dapat dikatakan peradilan merupakan unsur strategis untuk menjaga kemurnian suara rakyat hasil pemilu (Robert Carp et.al, 2004).

Pandangan ini merupakan paradoksal dengan kondisi MK saat ini dan lebih umum demokrasi Indonesia yang tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) tahun 2022 sebagaimana laporan Economist Intelligence Unit.

Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam "How Democracies Die: What History Reveals About Our Future" menganalogikan cara kekuasaan otoriter menumbangkan sistem demokrasi.

Negara demokrasi diibaratkan seperti pertandingan sepak bola, di mana pemimpin otoriter berperan layaknya mafia sepak bola yang bermain di belakang layar untuk menentukan hasil pertandingan sesuai kepentingannya.

Peran tersebut dilakukan dengan cara menguasai seluruh perangkat pertandingan seperti wasit, penyelenggara liga, bahkan mengatur aturan main sesuai kehendaknya.

Dalam konteks Mahkamah Konstitusi dan Pemilu, pendekatan manipulatif ini dilakukan dengan intervensi politik terhadap MK seperti hakim yang tidak memiliki pendirian independen dan imparsial sehingga rentan untuk dikendalikan pada proses penanganan sengketa pemilu oleh parpol atau kekuasaan elite tertentu.

Proses pemilihan Hakim Konstitusi Arsul Sani yang sarat akan konflik kepentingan menjadi tantangan tersendiri bagi Mahkamah Konstitusi dalam menjaga independensi penanganan sengketa pemilu dan pengujian UU.

Tidak adanya masa jeda cukup panjang dari statusnya sebagai ex politikus yang memegang jabatan pimpinan partai dan anggota Komisi III, memungkinkan adanya kondisi konflik kepentingan yang besar jika PPP sebagai peserta pemilu dan DPR RI menjadi pihak dalam perkara di Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya kondisi ini, maka patut dikembangan mengenai regulasi antikonflik kepentingan yang mengatur masa jeda untuk menduduki jabatan yang memiliki potensi konflik kepentingan tinggi dari jabatan sebelumnya.

Kewenangan konstitusional MK memutus sengketa hasil pemilu dan pilkada serta perluasan kewenangannya dalam perkara pemilu melalui praktik judicial activism setidaknya memberikan peran sentral serta strategis dalam pesta demokrasi 2024.

Esensi praktik judicial activism sebagai langkah politik demokratis Mahkamah, tidak akan sesuai tujuannya jika kondisi Mahkamah Konstitusi yang cenderung dipolitisasi dan diintervensi kemandiriannya.

Seperti yang terjadi belakangan, ketika dilakukan pemberhentian hakim MK secara politik pragmatis oleh DPR, polemik revisi UU MK tentang masa jabatan hakim, terpilihnya hakim Konstitusi unsur DPR yang merupakan politikus aktif.

Terbaru sikap politis hakim MK dalam perkara batasan usia Capres dan Cawapres yang jauh dari profesionalisme dan objektivitas peradilan serta sarat akan konflik kepentingan.

Praktik ini menunjukan independensi MK saat ini diragukan dan akan rentan dipolitisasi guna melegalkan kepentingan politik pragmatis terlebih saat ini masuk dalam periode Pemilu Serentak 2024.

Bahkan dalam kemungkinan terburuk, dengan pendekatan judicial activism yang memberikan kebebasan hakim dari belenggu prosedural, MK bisa menjadi sarana kecurangan guna pemenangan kontestasi pemilu.

Politisasi Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung akan berdampak sistemik pada peran strategis MK yang berwenang memutus hasil pemilu dan politik hukumnya untuk menegakan prinsip pemilu yang demokratis, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com