JAKARTA, KOMPAS.com - Mendalami ilmu tentang perilaku dan berprofesi sebagai behaviour analyst, ayah penyanyi Isyana Sarasvati dan Rara Sekar, Sapta Dwikardana, berbagi pengalaman dalam mengikuti tumbuh kembang dua putrinya dulu.
Sapta juga mencontohkan perbedaan tingkah laku Rara dan Isyana yang teramati sejak kecil.
Menurut pria lulusan KU Leuven, Belgia, ini pelajaran penting pertama sebagai orangtua adalah mengamati anak.
"Kerjaan pertama adalah mengamati apa yang terjadi dari anak-anak, terutama dari hari ke hari perubahan-perubahan yang ada," kata Sapta Dwikardana, dikutip dari kanal YouTube Mako Talk, Rabu (20/1/2021).
Baca juga: Beri Rara Sekar dan Isyana Sarasvati Kebebasan Sejak Kecil, Ayah: Orangtua Belum Tentu Benar
Pengamatan itu pula yang dipraktikkan Sapta saat ia berkuliah di luar negeri dan Rara serta Isyana ikut tinggal di sana.
"Kita bisa melihat bahwa manusia itu memang meskipun lahir dari rahim yang sama, itu mempunyai keunikan yang luar biasa dan keunikan itu harus dilihat sebagai potensi. Asal kita tahu keunikannya, maka kita harus fokus dengan keunikan itu," tutur Sapta Dwikardana.
Sapta lantas membeberkan perbedaan sikap Rara dan Isyana dulu.
"Misalnya Rara waktu kecil itu, sejak awal sudah menunjukkan ekspresi wajah sumeh kalau kata orang Jawa. Setiap ada orang baru itu ketawa, tersenyum, matanya, ekspresinya tersenyum," ujar Sapta Dwikardana.
Menurut Sapta, itu kecerdasan interpersonal alami Rara cilik karena tanpa diajarkan.
"Kalau sekarang kita memperhatikan dia (Rara) merespons apa pun yang ada pasti dengan ketawa kan dan itu terobservasi lho dari awal. Itu tidak ada hubungannya dengan pendidikan dan sebagainya," kata Sapta.
"Isyana itu sedikit lebih banyak takut pada orang. Jadi, ketika ada orang tuh ekspresinya menarik diri. Wajahnya tuh selalu 'orang asing, menghindar, menghindar'," ujar Sapta.
Bagi Sapta, orangtua tak bisa hanya memenuhi kebutuhan yang berwujud konkrit.
Baca juga: Ayah Ungkap Perbedaan Isyana Sarasvati dan Rara Sekar Saat Kecil
"Teori sebagai orangtua adalah membesarkan anak dengan tidak hanya dengan memberikan kebutuhan fisik, materi, dan pendidikan. Tetapi juga mengikuti perkembangan kejiwaan, perilaku," ucap Sapta Dwikardana.
Mengamati anak itu harus pula dilakukan oleh orangtua langsung. Tak bisa pengamatan dititipkan ke guru, psikolog, atau konselor.
"Sekali kita tidak berhasil menangkap pada waktu kecil, maka kita akan mengalami kebingungan-kebingungan terus-menerus melihat pertumbuhan anak. Padahal sebetulnya sejak awal sudah dikasih lihat," kata Sapta.