COLUMBIA, KOMPAS.com - Perang Israel di Gaza memiliki makna pribadi bagi mahasiswa Columbia University, Mahmoud Khalil.
Sebagai pengungsi Palestina berusia 29 tahun yang dibesarkan di Suriah, Khalil ingin terlibat dalam aktivitas di kampus untuk menentang perang di Gaza. Namun, ia mengaku merasa gugup.
Khalil menghadapi dilema yang umum dialami oleh mahasiswa internasional. Dia bagaimanapun berada di Amerika Serikat dengan visa pelajar F-1.
Baca juga: Demonstrasi Pro-Palestina di Kampus-Kampus AS Bergulir ke Acara Wisuda
Dengan ini, kemampuannya untuk tetap tinggal di negara itu bergantung pada kelanjutan pendaftarannya sebagai mahasiswa penuh waktu.
Ia sadar partisipasinya dalam protes, termasuk perkemahan yang terjadi di halaman Columbia bulan lalu, berisiko membuatnya menghadapi penangguhan dan hukuman lain yang dapat membahayakan status pendaftarannya.
“Sejak awal, saya memutuskan untuk menjauh dari sorotan publik dan jauh dari perhatian media atau kegiatan berisiko tinggi. Saya menganggap perkemahan ini sebagai berisiko tinggi," kata Khalil, sebagaimana diberitakan Al Jazeera, Jumat (17/5/2024).
Sebagai gantinya, ia memilih untuk menjadi negosiator utama untuk Columbia University Apartheid Divest.
Itu adalah sebuah kelompok mahasiswa yang mendorong para administrator sekolah untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan kelompok-kelompok yang terlibat dalam kekerasan terhadap warga Palestina.
“Saya adalah salah satu orang yang beruntung bisa mengadvokasi hak-hak warga Palestina, orang-orang yang terbunuh di Palestina,” kata Khalil.
Ia menyebut pekerjaan advokasinya sebagai hal yang paling berisiko minimal yang bisa saya lakukan.
Khalil menjelaskan bahwa ia bekerja sama dengan pihak universitas untuk memastikan kegiatannya tidak akan membuatnya mendapat masalah.
Berdasarkan percakapannya dengan para pemimpin sekolah, ia merasa kecil kemungkinan akan menghadapi hukuman.
Namun, pada 30 April, Khalil menerima email dari administrator Columbia yang mengatakan bahwa dia telah diskors, dengan alasan dugaan partisipasinya dalam perkemahan protes Pro-Palestina tersebut.
“Saya terkejut. Sungguh konyol bahwa mereka menskors negosiator,” jelasnya.
Namun, sehari kemudian -bahkan sebelum Khalil sempat mengajukan banding atas keputusan tersebut- pihak universitas mengiriminya email yang mengatakan bahwa skorsingnya telah dicabut.