Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkaji Hambatan Historis yang Halangi Tercapainya Perjanjian Damai Israel-Palestina

Kompas.com - 20/11/2023, 21:59 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

JALUR GAZA, KOMPAS.com - Konflik Israel-Palestina telah mencapai salah satu momen paling mengerikan dalam sebulan terakhir-sampai hari ini.

Lebih dari 13.000 orang tewas, sementara tanda-tanda berakhirnya konflik belum jelas, dan perdamaian nampaknya semakin menjauh.

Serangan Hamas di wilayah Israel pada 7 Oktober, dan balasan militer Israel ke Jalur Gaza, sekali lagi, telah menempatkan wilayah ini dalam perdebatan.

Baca juga: Pasukan Israel Disebut Tembak Siapa Pun yang Tinggalkan RS Indonesia di Gaza

Namun, perselisihan Palestina-Israel bukan hal baru, dan hambatan untuk mencapai kesepakatan mengakhiri konflik rumit ini sudah ada selama beberapa dekade.

Perbatasan Israel dan Palestina di masa depan, status Yerusalem, pengembalian pengungsi Palestina, distribusi air atau penggunaan kekerasan sebagai senjata politik -sejak awal telah menjadi hambatan utama yang menghalangi kemajuan dalam proposal perdamaian.

Dalam beberapa tahun terakhir, perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat, dan konflik internal di pihak Palestina, serta kurangnya kemauan politik masing-masing pihak telah mempersulit bagi dua negara -Palestina dan Israel- yang memungkinan hidup bersama secara damai.

Permukiman

Ketika Perjanjian Oslo ditandatangani pada 1993, ada sekitar 110.000 permukiman Yahudi di Tepi Barat, dan sektar 140.000 di Yerusalem Timur.

Persoalan permukiman Yahudi akan menjadi sesuatu yang harus diselesaikan di kemudian hari, tapi perjanjian Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyepakati tidak ada pembangunan koloni baru.

Setelah 30 tahun, lebih dari 700.000 warga Israel tinggal di sekitar 300 pemukiman di wilayah Palestina, antara Tepi Barat (setengah juta jiwa) dan Yerusalem Timur (sekitar 200.000 orang), menurut data dari B'Tselem, Pusat Informasi Israel untuk Hak Asasi Manusia di Wilayah Pendudukan.

Baca juga: Apakah Solusi 2 Negara Masih Mungkin Terjadi untuk Israel-Palestina?

"Perluasan permukiman yang terus berlanjut benar-benar menjadi penghalang bagi perdamaian, bukan hanya karena jumlah permukiman yang harus dievakuasi, tetapi juga karena Palestina menafsirkannya sebagai tanda bahwa Israel tidak benar-benar tertarik untuk mengizinkan berdirinya sebuah Negara Palestina," kata Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di Universitas California, kepada BBC Mundo.

Setelah gencatan senjata tahun 1949, yang mengakhiri perang antara Israel dan negara-negara tetangganya di Arab, apa yang disebut sebagai Garis Hijau, secara de facto membatasi wilayah Israel dengan wilayah Palestina.

Garis Hijau memisahkan Yerusalem menjadi dua dan membatasi Tepi Barat dan Gaza.

Selama Perang Enam Hari pada tahun 1967, Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menduduki Gaza serta Tepi Barat, di mana pemerintah Israel berturut-turut membangun pemukiman Yahudi, mengabaikan Garis Hijau.

Pada tahun 2005, Israel membongkar permukimannya di Gaza dan menarik diri dari Jalur Gaza.

Semua permukiman ini, berdasarkan hukum internasional, adalah ilegal.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan kembali bahwa permukiman yang dibangun Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967, termasuk di Yerusalem, merupakan "pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan merupakan penghalang utama bagi visi dua negara untuk hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan, di dalam batas-batas yang diakui secara internasional".

Baca juga: Serangan Israel ke RS Indonesia di Gaza Tewaskan 8 Orang

Tapi, Israel tidak melihatnya seperti itu, dan menganggap semua permukiman yang disahkan adalah legal.

"Pembangunan permukiman dimulai hanya dua bulan setelah perang 1967, dan diputuskan di bawah semua pemerintahan Israel, terlepas dari kepentingan politik mereka," ujar Eyal Hareuveni, peneliti B'Tselem yang memantau masalah permukiman, kepada BBC Mundo.

Bahkan saat ini, ketika Israel fokus pada perang Gaza, peneliti Israel itu berpendapat, pos-pos terdepan, yang juga dikenal sebagai pos luar, "yang disebut sebagai pemukiman sejak Perjanjian Oslo", terus dibangun.

Pos-pos ini biasanya dimulai dengan sebuah karavan atau rumah prefabrikasi yang pada akhirnya berkembang menjadi pemukiman tetap. Mereka sering kali didirikan di atas tanah pribadi milik warga Palestina.

"Menurut B'Tselem, pos-pos tersebut, seperti permukiman lainnya, didukung oleh pemerintah Israel, dilindungi oleh tentara Israel dan terhubung ke jaringan listrik dan pembuangan limbah oleh perusahaan infrastruktur Israel, semuanya dibiayai para pembayar pajak Israel," kata Hareuveni.

Pemukiman-pemukiman itu menyebar dari pusat-pusat kota besar, seperti yang ada di Yerusalem Timur, hingga desa-desa kecil yang tersemat jauh di Tepi Barat.

Menurut peneliti Chatham House, Elham Fakhro, Tepi Barat telah menjadi semacam "keju Swiss", yang bercampur dengan "kantong-kantong tanah Palestina yang tidak memiliki permukiman".

"Kantong-kantong" yang semula menjadi tempat tinggal 5,3 juta warga Palestina ini, menurut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), telah terputus satu sama lain.

Fakhro berkata, hal itu seringkali menghalangi penduduk sekitar untuk mengakses ladang pertanian mereka sendiri, atau mempersulit hidup mereka dengan banyaknya pos pemeriksaan militer yang dipasang di jalan-jalan -yang membuat perjalanan sekecil apa pun menjadi usaha berjam-jam.

Baca juga: RS Indonesia di Gaza Diserang, 12 Orang Tewas, 700 Masih di Dalam

Perjanjian Oslo II membagi Tepi Barat menjadi tiga zona:

  • Zona A, yang meliputi daerah perkotaan Palestina dan berada di bawah kendali sipil dan polisi Otoritas Nasional Palestina (PNA)
  • Zona B, di bawah kendali sipil Palestina dan militer Israel
  • Zona C, dengan kendali penuh militer dan sipil Israel dan meliputi 60 persen dari wilayah tersebut.

Di situlah permukiman-permukiman berada.

Warga Palestina dan organisasi-organisasi seperti B'Tselem dan Peace Now mengecam fakta bahwa Israel hampir tidak memberikan izin pembangunan di Area C kepada warga Palestina, tapi tetap membiarkan pertumbuhan permukiman Yahudi.

Selain itu, sekitar 20 persen wilayah Tepi Barat -sebagian besar berada di Lembah Yordan- tempat sumber air di wilayah tersebut, telah ditetapkan Israel sebagai zona latihan militer, di mana warga Palestina dilarang memasukinya.

Bagi sebagian warga Israel, menurut Khaled Abu Toameh, seorang peneliti urusan Palestina di Pusat Kebijakan Publik Yerusalem, permukiman mungkin menjadi penghalang bagi terciptanya sebuah negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, tetapi bukan penghalang bagi perdamaian:

Halaman:
Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com