NEW YORK, KOMPAS.com - Seorang pembelot mengungkap kehidupan tragis yang dia dan jutaan warga lainnya alami di negara tertutup Republik Rakyat Demokratik Korea Utara.
Yeonmi Park, berhasil terbang ke Amerika Serikat (AS) bersama ibunya pada 2007 silam. Sejak bebas dari negaranya, dia kerap mengungkap bagaimana masyarakat Korea Utara kekurangan akan kasih sayang dan persahabatan.
Lihat postingan ini di Instagram
Park juga menceritakan bagaimana dia menyaksikan ngerinya orang-orang mati kelaparan di bawah kepemimpinan tertinggi mereka, Kim Jong Un.
Park mengatakan, tidak ada seorang pun yang punya teman karena mengekspresikan emosional dipandang rendah.
Setiap orang di Korea Utara, menurut gadis 26 tahun itu, saling menyebut satu sama lain dengan, 'comrade'.
Baca juga: Kabur dari Korut, Pembelot Ini Susah Payah Sampai Inggris, Ini Kisah Perjuangannya
Satu-satunya kasih sayang yang ditunjukkan siapa pun di negara tertutup itu, adalah untuk pemimpin mereka. Meski menurut pengakuan Park, orang tuanya tidak pernah bahkan menyatakan bahwa mereka mencintai pemimpin negara itu.
Berbicara kepada New York Post, Park yang kini menjadi seorang aktivis hak asasi manusia menggambarkan rezim Korea Utara saat ini sebagai 'holocaust' di zaman modern.
"Yang perlu Anda ketahui tentang Korea Utara adalah tidak seperti negara lain seperti Iran atau Kuba. Di negara-negara itu, Anda memiliki semacam pemahaman bahwa mereka tidak normal, mereka terisolasi dan orang-orang tidak aman."
"Tapi Korea Utara telah benar-benar dibersihkan dari seluruh dunia, secara harfiah itu adalah kerajaan tertutup. Ketika saya tumbuh di sana, saya tidak tahu bahwa saya terisolasi, saya tidak tahu bahwa saya sedang berdoa kepada seorang diktator."
Baca juga: Cegah Adanya Pembelot, Korea Utara Terapkan Aturan Berlapis
Park dan saudara perempuannya diajari bahwa mendiang pemimpin tertinggi Kim Il Sung dan putranya, Kim Jong Il serta pemimpin saat ini Kim Jong Un layaknya dewa yang dapat membaca pikiran orang.
Dia menjelaskan propaganda dan dongeng membuat warga terlalu takut untuk berpikir negatif jika mereka dihukum.
Kehidupan di sekolah sangat brutal, menurut Park, yang mengatakan para pelajar dipaksa untuk melakukan "sesi kritik" di mana mereka menyerang dan menemukan kesalahan teman sekelasnya.
Dia mengatakan metode itu dirancang untuk menciptakan perpecahan.
Sekitar 40 persen populasi warga Korea Utara menderita kelaparan dan menghadapi kekurangan pangan, sesuatu yang sering disembunyikan oleh rezim itu.
Park mengatakan dia tumbuh dengan makan serangga untuk bertahan hidup. Setelah melihat paman dan neneknya meninggal karena kelaparan, dia mengatakan keluarga Kim harus disalahkan atas kematian jutaan orang.
Baca juga: Pembelot Jadi Kasus Covid-19 Perdana Korea Utara, Ini Kata Korea Selatan