Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemasaran Produk Kelapa Sawit Indonesia Mulai Ditolak di Swiss

Kompas.com - 10/06/2020, 05:30 WIB
Krisna Diantha Akassa,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

 

ZURICH, KOMPAS.com - Pemasaran produk kelapa sawit dan turunannya yang berasal dari Indonesia mulai mendapatkan perlawanan di Swiss.

Uniterre, lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk petani Swiss, menolak keras masuknya produk kelapa sawit Indonesia ke Heidiland.

Tidak tanggung-tanggung, LSM Uniterre bahkan mulai mengumpulkan tanda tangan rakyat Swiss untuk mengadang produk andalan Tanah Air itu.

Baca juga: Dukung Upaya Pemerintah, Industri Kelapa Sawit Bantu Perangi Corona

Selanjutnya, jika tanda tangan itu memenuhi kuota, akan berlanjut ke referendum. Artinya, keputusan boleh atau tidaknya produk kelapa sawit Indonesia akan ditentukan murni di tangan rakyat Swiss.

Persis seperti pemilihan presiden atau kepala daerah di Indonesia, sekitar delapan juta rakyat Swiss akan menentukan nasib produk kelapa sawit itu nantinya, lewat coblosan.

Sejauh ini, jumlah tanda tangan untuk memuluskan referendum sudah memenuhi syarat. "Kami sudah mengumpulkan 65.000 tanda tangan,“ tutur Mathias Stalder, pejabat Uniterre, menjawab Kompas.com.

Kotak surat yang berisi tanda tangan itu, imbuh Stalder, akan diserahkan ke Kejaksaan Agung Swiss pada 22 Juni mendatang.

Di Swiss, penentuan kebijakan berasal dari dua macam, yaitu parlemen dan rakyat. Parlemen Swiss sebenarnya sudah memberikan lampu hijau masuknya produk kelapa sawit Indonesia.

Perjanjian kerja sama kedua negara sudah diteken kedua belah pihak. Tinggal pelaksanaan di lapangan saja, maka akan mengalir margarin, minyak goreng, atau kosmetik dengan bahan baku kelapa sawit ke Swiss.

Baca juga: Pandemi Corona, PHK Jadi Pilihan Terakhir Industri Kelapa Sawit

Namun, Uniterre mengadakan perlawanan. Agar referendum bisa terlaksana, diperlukan minimal 50.000 tanda tangan. Dengan mengantongi 65.000 tanda tangan, langkah Uniterre diperkirakan akan mulus.

Bundesrat, kumpulan tujuh kepala pemerintahan Swiss, akan memutuskan apakah referendum yang diusulkan Uniterre memenuhi syarat atau tidak.

Memenuhi syarat itu, menurut perundangan Swiss, hanyalah sebatas persoalan administrasi. Dalam hal ini, kata Stalder, adalah sah atau tidaknya tanda tangan yang dikumpulkan.

"Kalau disetujui, diperkirakan akan ada pemilu penolakan atau penerimaan produk kelapa sawit Indonesia November tahun ini, atau Maret tahun depan,“ tambahnya.

Organisasi Uniterre mengampanyekan penolakan produk kelapa sawit dengan isu utama perusakan lingkungan hutan yang poranda beserta kesengsaraan yang menimpa penghuninya, khususnya gajah dan orang utan.

Baca juga: Luhut: Investasi Kelapa Sawit Belum Tentu Untungkan Masyarakat Lokal...

Uniterre bukanlah lembaga resmi organisasi petani Swiss. Uniterre hanyalah LSM. Kendati begitu, Stalder mengaku sudah didukung 50 organisasi petani lainnya. Selain jumlah tanda tangan yang memenuhi kuota, akan memuluskan referendum ini.

"Sejauh ini pemerintah baru bisa menyanggahnya dengan isu ekonomi, bagaimana mengangkat kemiskinan bukan soal pemeliharaan hutan,“ kata doktor lulusan ETH Zurich, Nur Hasanah, kepada Kompas.com.

Hasanah berharap Pemerintah Indonesia mulai mengedepankan kampanye penghijauan hutan, serta perlindungan gajah dan orang utan.

Swiss merupakan negara yang sering melakukan referendum. Sedikitnya empat kali setahun diadakan referendum.

Umumnya referendum ini dilakukan lewat pos dengan tema beragam. Penolakan produk kelapa sawit ini, jika memang akan terjadi referendum, termasuk referendum nasional. Semua rakyat Swiss, khususnya yang berhak pilih, akan menentukannya.

Baca juga: Strategi Jangka Benah, Solusi Persoalan Lahan Kelapa Sawit Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com