Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi UB: Kampanye Pemilu 2024 Banyak Dipanasi oleh Kalangan Elite

Kompas.com - 13/02/2024, 15:26 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah resmi berakhir pada Sabtu (10/2/2024). Sebelum 14 Februari 2024, semua pihak menjalani masa tenang.

Lalu, bagaimana penilaian akademisi Universitas Brawijaya (UB) selama kampanye Pemilu 2024?

Baca juga: UGM Sediakan 9 TPS Khusus buat Mahasiswa pada Pemilu 2024

Menurut Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UB, Prof. Rachmat Kriyantono, pada Pemilu 2019 hanya terjadi polarisasi yang disebabkan politik identitas dan banyak terkonstruksi di grassroot (akar rumput).

Dengan begitu, muncul politik atribusi yang membagi rakyat ke dalam dua kelompok, yakni "cebong dan kampret". Namun, polarisasi ini tidak berdampak serius pada kerusakan demokrasi dan sistem hukum di Indonesia.

Sedangkan kampanye Pemilu 2024, kata dia, bisa memanas karena sumbernya adalah kalangan elite.

"Pemicu utama adalah sikap dan perilaku politik Presiden. Kasus MK, majunya Gibran, pernyataan Presiden bahwa dia boleh kampanye, keputusan DKPP telah memunculkan isu hilangnya etika dalam praktik politik dan demokrasi," kata dia, dilansir dari laman UB, Selasa (13/2/2024).

Dalam kacamata Ilmu Komunikasi, dia menilai presiden sebagai komunikator politik telah mereduksi kepercayaan publik, yakni publik sudah tidak percaya jika pemilu akan berjalan tanpa kecurangan.

"Inkonsistensi pesan sekarang ini banyak disuguhkan, baik inkonsistensi pesan varbal dan non-verbal. Misalnya, menginstruksikan aparat netral, tapi foto presiden bersama satu capres dan parpol tertentu berjejeran di semua daerah," jelas dia.

Dia menganggap penguatan pesan kunci pada pasangan calon 01 dan 03 (calon presiden dan calon wakil presiden) memperkuat positioning mereka.

Baca juga: Sivitas Akademika UI Siap Kawal Pemilu 2024 yang Jujur dan Adil

"Karena isu etika dan netralitas membuat polarisasi posisi 02 adalah pasangan calon status quo, paslon lainnya oposisi," ungkap pria yang akrab disapa RK ini.

Maka dari itu, dia menilai kegiatan seperti Desak Anies atau Tabrak Prof mempunyai positioning kuat untuk membangun image bisa mengubah dan memperbaiki kondisi rakyat.

"Desak Anies dan Tabrak Prof merupakan sarana komunikasi untuk membangun image sebagai pasangan calon yang merakyat dan peduli rakyat. Ada faktor homofili, yakni kesesuaian pesan komunikator dengan kebutuhan rakyat, yang membuat komunikasi efektif," jelas dia.

"Ada edukasi politik melalui diskusi dan berbagi opini dengan rakyat. Kapasitas intelektual, pengalaman, dan kapasitas komunikasi seorang pasangan calon sangat teruji di model kampanye ini," sambung RK.

Sedangkan penyebutan "gemoy" dan "samsul", lanjut dia, menunjukkan pasangan calon dengan kapasitas gagasan yang kurang hingga pengalaman yang kurang.

Baca juga: Guru Harus Netral dan Tidak Memihak pada Saat Pemilu 2024

"Namun, harus diakui gimik itu bisa meningkatkan awareness publik, tapi jika publik kita sudah terliterasi secara baik, justru kondisi akan berbalik," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com