DUNIA perguruan tinggi (PT), khususnya komunitas guru besar (profesor) kembali diguncang oleh berita tentang peristiwa “pembebasan jabatan” (bukan gelar) profesor terhadap 2 (dua) orang guru besar Universitas Sebelas Maret Solo yang juga merupakan petinggi Wali Amanah (WMA) di universitas tersebut.
Peristiwa ini merupakan kali pertama terjadi dalam sejarah PT di Indonesia.
Artikel ini tidak akan membahas kembali pro dan kontra ikhwal peristiwa tersebut beserta respons balik terhadapnya. Artikel ini fokus pada analisis atas logika dan pertimbangan hukum yang melandasinya.
Pembebasan (bukan pencopotan) sementara kedua profesor tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Mendikbudristek No. 29985/RHS/ M/ 08/2023 dan No. 29986/RHS/M/08 tahun 2023 tertanggal 26 Juni 2023 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Pembebasan (Sementara) dari Jabatan sebagai Guru Besar menjadi Pelaksana.
Dalam Permenpan-RB Nomor 45/2022, pelaksana adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas pelaksanaan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Terdiri dari klerek, operator, dan teknisi.
Ketiga jabatan pelaksana tersebut merupakan jabatan bagi PNS non-dosen (tenaga kependidikan).
Dalam keputusan Mendikbudristek tersebut, keduanya dinyatakan melanggar disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan dikenakan penjatuhan hukum disiplin berupa pembebasan dari jabatan guru besar menjadi jabatan pelaksana.
Menilik hal tersebut, jelas bahwa pembebasan kedua profesor tersebut menggunakan peraturan terkait kepegawaian secara umum, karena yang bersangkutan “kebetulan” adalah PNS.
Peraturan yang digunakan adalah Undang-Undang (UU) No. 5/2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021, khususnya tentang “Hukuman Disiplin”.
Berdasarkan ketentuan yang ada, hukuman disiplin dikenakan kepada PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau tidak menghindari larangan yang diatur di dalam peraturan kepegawaian.
Dalam kasus ini, tampaknya hukuman disiplin berupa pembebasan jabatan profesor adalah karena Pemerintah (Mendikbudristek) menilai kedua profesor tersebut telah melanggar larangan sebagai PNS Pejabat Fungsional jenjang Ahli Utama yang “diasumsikan” setara dengan jenjang jabatan akademik profesor dalam peraturan perundang-undangan terkait Dosen (UU 14/2005; UU 12/2012; PP 37/2009).
Melihat putusannya, hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada kedua profesor tersebut termasuk jenis hukuman disiplin “Berat” jenjang kedua, yakni “pembebasan dari jabatannya (sebagai ahli utama = profesor) menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan [pasal 8 ayat (1) dan ayat (4)b PP 94/2021].
Berdasarkan Kepmendikbud Nomor 108833/MPK/RHS/KP/2020 tertanggal 10 November 2020 tentang Majelis Wali Amanat Universitas Sebelas Maret Periode Tahun 2020-2025, kedua profesor tersebut merupakan petinggi (wakil ketua dan sekretaris) MWA dari unsur perwakilan Senat Akademik Universitas (SAU).
Diprediksi larangan yang dilanggar oleh mereka adalah “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 huruf a. PP No. 94/2021.
Jika mencermati konsideran Permendikbudristek No. 24/2023 tentang Penataan Peraturan Internal dan Organ di Lingkungan, kemungkinan besar penyalahgunaan wewenang yang dimaksudkan adalah terkait penetapan peraturan internal universitas oleh MWA (Peraturan MWA) yang diduga “bertentangan” dengan peraturan perundang-undangan.