Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UI: 2 Hal yang Sebabkan Tidak Ratanya Pendidikan di Indonesia

Kompas.com - 03/05/2023, 10:22 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Pahlawan nasional R. A. Kartini sudah lama memperjuangkan kedudukan kaum perempuan, tapi hingga sekarang masih bisa terlihat ketidakmerataan pendidikan yang dialami sebagian perempuan.

Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI), Mia Siscawati menyebut banyak faktor yang menyebabkan tidak meratanya pendidikan di Indonesia, di antaranya adalah faktor ekonomi dan sosial.

Baca juga: 10 Sekolah Kedinasan 2023 Terfavorit, buat Referensi Daftar

Kondisi ekonomi sering kali memaksa anak untuk berhenti sekolah dan membantu keluarganya mencari uang.

Ditinjau dari segi sosial, tidak sedikit keluarga yang mendukung anak laki-lakinya untuk bersekolah lebih tinggi daripada anak perempuan.

Menurut Mia, adanya stereotipe bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah, karena kodratnya menjadi istri dan ibu, merupakan salah satu faktor kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Kondisi ini masih menunjukkan adanya kesenjangan gender di dunia pendidikan.

"Gender merujuk pada konstruksi sosial yang mengatur perempuan harus bagaimana dan laki-laki harus bagaimana. Adanya konstruksi sosial ini menjadi masalah dari masa ke masa. Bahkan, ketika perempuan dan laki-laki sudah berada dalam suatu institusi pendidikan yang sama, diskriminasi gender yang disengaja maupun tidak masih banyak terjadi," kata Mia dalam keterangannya, Rabu (3/5/2023).

Terkait masalah diskriminasi gender dalam dunia pendidikan, Mia membaginya menjadi tiga ranah, yaitu individual, kultural, dan struktural. Ketiganya saling berkelindan.

Masalah struktural, misalnya, dapat dilihat dari belum terciptanya fasilitas pendidikan yang memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara perempuan dengan laki-laki.

Pada 2020, dalam Profil Sanitasi Sekolah yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) disebutkan bahwa terdapat satu dari tiga sekolah yang tidak memiliki jamban atau toilet yang terpisah.

"Fasilitas jamban atau toilet yang terpisah merupakan hal yang sangat penting bagi anak perempuan. Di daerah tertentu, anak-anak perempuan memilih tidak sekolah pada tiga hari pertama mereka menstruasi, karena sangat tidak nyaman di sekolah," ujar Mia.

Sementara itu, dari segi kultural, masyarakat secara tidak sengaja sering menomorduakan anak perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, jika ada kegiatan fisik yang berat, anak perempuan dianggap tidak mampu dan lemah.

Baca juga: Ahli Unair: Kandungan Etilen Oksida di Makanan Berbahaya bagi Tubuh

Selain itu, jika ada pemilihan untuk menjadi pemimpin atau ketua, anak perempuan sering dijadikan orang kedua setelah laki-laki. Masalah struktural dan kultural ini kemudian dinormalisasi melalui internalisasi pada individu.

Mia menilai permasalahan diskriminasi gender di dunia pendidikan harus dituntaskan karena merupakan komponen penting dalam menciptakan kemajuan bangsa.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com