Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Satria, Pernah Jadi Pelayan namun Kini Jadi Wakil Dekan

Kompas.com - 28/12/2022, 15:38 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pernah bekerja menjadi pelayan, sempat pula tidak naik kelas, menjadi bagian perjalanan karier Satria Unggul Wicaksana, Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Satria kini juga menjadi wakil dekan di UM Surabaya.

Namun, sebelum sampai di titik karier saat ini, ia pernah merasakan getirnya hidup.

Saat menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 26 Surabaya, rupanya Satria pernah tidak naik kelas saat akan naik kelas 3 SMP atau kelas 9.

Hal tersebut lantaran ia tak bisa membeli buku-buku sekolah dan lima guru tidak memberinya nilai.

“Waktu itu sekolah belum ada dana bos, jadi membeli buku adalah perkara yang mahal. Jangankan untuk beli buku, untuk makan saja susah,” kata Satria dilansir dari laman UM Surabaya.

Baca juga: Beasiswa S1-S2 Brunei Darussalam 2023, Tunjangan Rp 7 Juta Per Bulan

Satria anak terakhir dari 3 bersaudara, ayahnya Mulyadi dan Nyoman Sumetriyani bekerja sebagai penjual rombeng baju bekas di desa-desa.

Baju rombeng itu dijual ke kawasan rumahnya Gresik, Lamongan hingga Babat.

Satria menyebut jualan rombeng kedua orangtuanya hanya menghasilkan Rp 5.000 - 25.000 dan itu untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga.

Terlahir dari keluarga miskin harus membuat dirinya menjadi anak yang lebih mandiri karena orang tuanya harus bekerja dari Senin-Minggu.

“Jadi saat saya tidak naik kelas, saya sempat frustasi dan mengurung di kamar 2 hari. Waktu itu banyak sekali yang ngebully. Bahkan sempat saya mau pindah ke Bali karena ada keluarga Ibu disana,” kenang dia.

Baca juga: Cerita Fian, Mahasiswa Unej Lolos 4 Kampus Top Dunia lewat LPDP

Setelah mengurung diri di kamar, ia berpikir dan tidak boleh berlama-lama meratapi nasib.

Meski tidak naik kelas ia mencoba menjadi siswa yang lebih aktif, mengikuti berbagai olimpiade, aktif organisasi bahkan di tahun selanjutnya saat naik kelas 3 ia dipilih menjadi wakil ketua kelas.

Keaktifan di sekolah itu berlanjut hingga Satria Sekolah di SMA Muhammadiyah 8 Surabaya. Di sekolah tersebut Satria bertemu guru bernama Yusuf Ismail yang mengenalkannya dengan Muhammadiyah, organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), belajar mengaji dan agama.

“Waktu itu pengetahuan saya tentang agama sangat kurang, ibu muallaf dan kedua orang tua setiap hari kerja, jadi jarang ada waktu untuk ngobrol. Bersyukur bertemu Pak Yusuf Ismail beliau mengajari saya banyak hal tentang agama termasuk sering ngabsen sholat saya,” kenang Satria lagi.

Meski sekolah SMA nya gratis, Satria memilih sekolah sembari bekerja sebagai pelayan di daerah Pakuwon, hal tersebut ia lakukan agar tidak meminta uang kepada orang tuanya dan untuk makan.

Baca juga: Mahasiswa Butuh Biaya Skripsi hingga Riset? Ada Bantuan Rp 10 Juta

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com