Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UGM: Harga Kedelai Naik, Ada Alternatif Pengganti Bahan Tempe

Kompas.com - 23/02/2022, 18:12 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dalam sepekan terakhir Indonesia mengalami krisis kedelai. Krisis kedelai ini ditandai dengan peningkatan harga yang signifikan dari Rp 7.000-9.000 menjadi Rp 11.300 di Jawa dan sampai Rp 12.500 per kilogram di luar Jawa.

Kenaikan harga 30-40 persen tersebut cukup memberatkan konsumen kedelai yang sebagian besar merupakan UMKM perajin tahu dan tempe.

Bahkan, di beberapa daerah pengrajin tahu dan tempe mogok produksi karena tingginya harga kedelai. Sebagian perajin menyiasati dengan mengurangi ukuran dan terpaksa menaikkan harga tempe dan tahu.

Baca juga: Guru Besar Unair: JHT Cair di Usia 56 Tahun Picu Proses Pemiskinan

Imbas lainnya yaitu kenaikan harga tempe dan tahu serta produk olahannya seperti gorengan dan keripik. Akibatnya, pengeluaran rumah tangga juga meningkat.

Menanggapi hal ini, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Subejo menyayangkan fenomena kedelai naik terus berulang setiap tahunnya.

Tempe dan tahu ini sebenarnya lauk yang dapat disajikan dengan berbagai variasi dengan harga cukup terjangkau serta memiliki kandungan protein cukup baik sehingga menjadi pilihan bagi keseharian masyarakat," ujarnya dilansir dari laman UGM.

Subejo menuturkan krisis kedelai global dipicu oleh beberapa hal yaitu menurunnya produksi kedelai di dua negara penghasil utama kedelai yakni Amerika Serikat dan Brasil akibat La Nina.

Serta meningkatnya impor kedelai oleh Cina. Saat ini, menurutnya Cina merupakan importir kedelai terbesar di dunia di mana tahun 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.

Dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM ini menjelaskan kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia.

Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.

“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan," ucapnya.

Baca juga: Banyak Anak Muda Terpikat Trading, Pengamat UGM Ingatkan 3 Hal Ini

Maka cukup wajar jika impor kedelai jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksi nasional. Melihat data Badan Pusat Statistik atau BPS tahun 2019 beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Di sisi yang lain, kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton.

Dengan kondisi tersebut maka setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton. Bahkan, pada tahun 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar dimana 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.

“Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS pada 2019, dan dalam 5 tahun terakhir produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar 859.653 ton dan 538.728 ton, pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 982.528 ton," katanya.

Subejo mengatakan perlu terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com