Sebelum awal Maret 2020 apakah pernah terbesit di pikiranmu bahwa virus Covid-19 telah tersebar di Indonesia? Banyak dari kita yang tidak menyangka pandemi dapat berdampak luar biasa bagi dunia.
Semesta selalu memiliki cara untuk mengingatkan kita tentang ketidakpastian.
Wajar jika manusia mengalami kelelahan fisik dan emosional dalam menghadapi perubahan yang tidak ada hentinya. Dengan mengendalikan emosi yang kita rasakan dan belajar mengendalikan perasaan, maka kita mudah beradaptasi dengan perubahan.
Belakangan ini kita tentu menyadari isu kesehatan mental menjadi masalah yang sering diangkat. Hal ini karena pandemi memberikan sebuah kejutan bagi kita dan membuat kesehatan mental menjadi terganggu.
Dalam suatu survei oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, terjadi peningkatan gejala masalah psikologis di era pandemi.
Sebanyak 68 persen responden mengalami kecemasan, 67 persen mengalami depresi, dan 77 persen mengalami trauma psikologis dan mungkin angka ini bisa menjadi lebih besar lagi.
Dalam usaha mengatasi gangguan mental yang dialami ini, kita sebenarnya telah “meretas” otak kita untuk menjaga kesehatan mental. Misalnya kita menghabiskan waktu luang dengan menonton drama Korea, memasak menu baru, membuka toko daring, dan lain-lain.
Melakukan cara-cara ini memang akan membuat kesenangan, namun kesenangan itu tak bertahan lama. Hal ini karena kita mengandalkan hal-hal diluar diri kita untuk mempertahankan kebahagiaan dan kesehatan mental yang kita miliki.
Baca juga: Ini Cara Mengendalikan Emosi Orangtua Terhadap Anak
Salah satu cara terpenting untuk mengendalikan emosi dari dalam diri kita adalah melatih penerimaan. Kenapa penerimaan? Karena kita cenderung akan lari dari stres dan masalah yang menimpa kita.
Misalnya ketika tugas pekerjaan menumpuk, terkadang kita selalu mencari kesibukan lain, seperti menonton drama Korea dan bermain gim untuk lari dari beban kita.
Kita perlu menyadari dan menerima gejolak emosi selalu hadir dalam batin kita dan tidak dapat dihilangkan karena manusia adalah makhluk yang emosional.
Susan David, seorang psikolog dari Harvard, menyatakan emosi kita memiliki kapasitas untuk menjadi dinamis, fleksibel, dan mampu menghadapi kompleksitas hidup. Tinggal bagaimana caranya mengelola emosi untuk menghadapi ketidakpastian.
Keluwesan emosi seperti inilah yang ingin dicapai demi terwujudnya pola kerja agile.
Pola kerja agile bertujuan menyatukan orang, proses, konektivitas, teknologi, waktu, dan tempat untuk menemukan cara kerja yang paling tepat dan efektif untuk melaksanakan tugas.
Pernahkah ketika kamu sedang bersedih dan memiliki emosi tidak stabil, orang-orang di sekitar kamu cenderung menyarankan kamu untuk tetap positif seolah sedih adalah hal yang tabu? Hal inilah yang dinamakan toxic positivity.