KOMPAS.com - Adanya usulan Presiden Joko Widodo untuk melakukan Revisi terhadap UU ITE saat ini tengah hangat diperbincangkan. Beberapa pakar pun mengemukakan pendapat mereka terkait kebijakan ini.
Terkait revisi UU ITE ini, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) memberikan pandangannya.
Ada 3 hal yang menjadi catatan PSHK FH UII terkait revisi UU ITE tersebut. Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII Allan F.G Wardhana, S.H., M.H mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi pengamatan PSHK FH UII, antara lain:
Menurut Allan, wacana revisi UU ITE sudah lama menyeruak dan tidak hanya menyangkut fenomena saling lapor diantara masyarakat. Di satu sisi, UU ITE dianggap memiliki dimensi positif sebagai sarana pembatasan bagi kebebasan berekspresi dalam ruang digital.
Namun di sisi lain, UU ITE dianggap negatif, karena adanya pembatasan tersebut, secara vertikal dianggap sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam kritik masyarakat dan secara horizontal dianggap sebagai pemicu fenomena saling lapor melapor.
Baca juga: Akademisi UII: Ini Cara Mengelola Sampah Masker Sekali Pakai
"Adanya persinggungan antara pemberian ruang kebebasan dengan pembatasan tersebut menjadi dimensi yang perlu untuk ditemukan jalan tengahnya," papar Allan dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (19/2/2021).
Allan menerangkan, adanya mekanisme pengaturan terhadap ruang kebebasan masyarakat untuk berekspresi ini sesungguhnya memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28J UUD NKRI 1945 yang menentukan beberapa syarat.
Pembatasan harus dilakukan berdasarkan hukum (by law).
Pembatasan didasarkan pada alasan yang sah seperti ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan hak kebebasan orang lain atau hak atas reputasi orang lain. Pembatasan hak asasi harus dilakukan dalam rangka menjaga agar demokrasi berjalan dengan baik.
"Adanya pembatasan ini sesungguhnya juga sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut bangsa Indonesia, yakni demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau demokrasi berdasar atas hukum (democratische rechtstaat)," imbuh Allan.
Baca juga: Raih Nilai Tertinggi, Mahasiswa UII Juara 1 ERPsim
Dalam konteks UU ITE, lanjut Allan, pembatasan ini sudah sesuai dengan syarat di atas.
Namun yang menjadi permasalahan adalah, apakah pembatasan kebebasan yang diatur dalam UU ITE ini sudah didasarkan atas alasan yang sah dan sejalan dengan prinsip demokrasi?
Jika merujuk UU ITE, ada 7 pembatasan terhadap hak berekspresi seseorang. Yakni terhadap informasi elektronik yang memiliki materi muatan melanggar:
Allan mengungkapkan, adanya revisi UU ITE ini muncul satu problematik yakni terdapat kekaburan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan yang dianggap sebagai kritik. Selain itu adanya anomali implementasi pasal yang justru mereduksi perlindungan terhadap hak asasi seseorang.
"Celah problematik ini membuka ruang kriminalisasi terhadap orang-orang atau badan yang sebenarnya ditujukan untuk mengekpresikan kritik atau untuk membela diri dan melindungi pribadi seseorang serta dijadikan sebagaimana data yang telah beredar," beber Allan.
Allan menambahkan, terkait isu ini, Presiden Jokowi telah memberikan beberapa instruksi. Yakni mendorong DPR untuk melakukan revisi UU ITE. Memerintahkan Kapolri untuk merumuskan panduan penyelesaian kasus terkait UU ITE. Salah satu muatannya bahwa yang harus melapor adalah korban.
Ada 3 catatan yang dikemukakan PSHK FH UII sebagai berikut: