Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghadirkan Sekolah Menyenangkan di Era "Blended Learning"

Kompas.com - 26/06/2020, 11:06 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Teknologi menjadi sebuah keniscayaan di masa sekarang ini, terutama selama pandemi covid-19. Tantangannya kemudian adalah bagaimana menghadirkan proses pendidikan blended learning secara menyenangkan, termasuk saat sekolah memasuki normal baru pendidikan nantinya.

Terkait hal itu, Gerakan Sekolah Menyenangkan dan Dinas Pendidikan Boyolali menggelar webinar dengan mengangkat tema "Blended Learning ala Gerakan Sekolah Menyenangkan: Model Pembelajaran Masa Depan" (25/6/2020).

"Kita ingin pusat pendidikan kita menjadi "sekolah taman" yang secara fisik lingkungannya akan sangat menyenangkan. Juga secara psikis terjadi interaksi menyenangkan; terjadi interaksi menyenangkan antarsiswa, siswa dengan guru atau antarguru," harap Darmanto, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali.

Oleh karenanya, Darmanto melihat Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara saling asah, asih dan asuh.

Baca juga: Federasi Serikat Guru: 55 Persen Sekolah Belum Siap Kenormalan Baru Pembelajaran

"Kita ingin membangun ekosistem pendidikan yang ideal dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan; siswa, guru, orangtua dan masyarakat dengan menghadirkan inovasi yang menjawab tantangan dan kearifan lokal," ujarnya.

Rancang ulang pendidikan

Menjawab tantangan pendidikan masa depan, Muh. Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menjelaskan pendidikan harus dapat menjawab tantangan perubahan dunia.

"Dunia akan berubah lebih otomatis, semua pekerjaan dilakukan oleh robot, alam semesta akan terhubung (hyperconnected) melalui IoT, algoritma akan lebih memahami kondisi biologis dan psikologis manusia melalui sensor network dan bioengineering, informasi dan pengetahuan tumpah ruah di internet, dan apa yang ditanyakan oleh manusia dalam sedetik akan dijawab oleh mesin pencari yang ditanam di otak manusia," jelas Rizal.

Dosen Faluktas Teknik UGM ini kemudian menegaskan, "artinya dunia membutuhkan karakter manusia yang baru, lebih empatik, keseimbangan mental pada diri manusia sangat dibutuhkan, kecerdasan bukan pada IQ tetapi pengelolaan emosi."

"Orientasi kebijakan politik pendidikan dari standarisasi dan kepatuhan harus berubah ke pendidikan personalisasi (wellbeing, minat bakat) dan sejalan dengan kebutuhan kompetensi revolusi industri 4.0," ujar Rizal.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah merancang ulang tujuan pengelolaan, kurikulum, strategi delivery dan asessment yang tidak mengkompetisikan siswa.

"(Seharusnya) malah mengkolaborasikan antarsiswa, guru, sekolah. Pelajarannya tidak mono tetapi lintas disiplin, deliverinya bukan konten pengetahuan melainkan meta-kognisi atau kecakapan dasar berpikir ilmiah," jelasnya.

Rizal melanjutkan, "asessmentnya bukan nilai tetapi support dan feedback terhadap proses belajar siswa dan gurunya sehingga terbentuk portofolio sebagai produk growth-mindset siswanya."

Baca juga: Mencari Solusi Pembelajaran Ideal di Masa New Normal

Pembelajaran menyenangkan

Muh. Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dalam webinar Blended Learning ala Gerakan Sekolah Menyenangkan: Model Pembelajaran Masa Depan (25/6/2020) yang diadakan bersama Disdikbud, Boyolali.DOK. GSM Muh. Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dalam webinar Blended Learning ala Gerakan Sekolah Menyenangkan: Model Pembelajaran Masa Depan (25/6/2020) yang diadakan bersama Disdikbud, Boyolali.

Rizal juga menyampaikan, "kegiatan belajar di sekolah terasa membosankan bagi sebagian besar siswa yang kita tanyai. Mereka merasa tidak diajar/dididik, melainkan diberi tugas mengerjakan soal, PR dan ujian."

Ia menyampaikan siswa menjadi dituntut berprestasi tetapi tujuannya untuk kepentingan reputasi dan akreditasi sekolah. "Situasi ini diciptakan oleh pemerintah sendiri yang tanpa sadar membuat stigmasi sekolah favorit/unggulan melalui kebijakan UN, USDA dan lainnya," tegas Rizal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com