KOMPAS.com - Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan peristiwa bersejarah dalam merebut kembali Yogyakarta dari tangan Belanda.
Untuk memperingatinya, pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Kala itu, Indonesia berhasil menghentikan Agresi Militer Belanda, baik melalui jalur diplomasi maupun militer.
Baca juga: Peran Penting Serangan Umum 1 Maret 1949 bagi Indonesia
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Belanda berusaha membuat kesepakatan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara persemakmuran berbentuk federasi, di bawah Kerajaan Belanda.
Pada 28 April 1946, sebanyak 1.200 tentara Jepang yang menjadi tawanan Sekutu diangkut dari Jawa Timur ke Pulau Galang, Batam.
Penyerahan tawanan kepada Sekutu itu sekaligus menandai berkurangnya keterlibatan Sekutu terhadap Indonesia.
Dikutip dari buku Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 (2000), Belanda melihat momen itu sebagai kesempatan untuk mengambil kendali.
Di hadapan dunia, Belanda berjanji bahwa keberadaan mereka di Indonesia hanya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Kendati demikian, hasil perundingan Hooge Veluwe antara Indonesia dan Belanda yang berlangsung pada 14-24 April 1946 mengecewakan.
Baca juga: Siapa yang Menggagas Serangan Umum 1 Maret 1949?
Belanda menduduki wilayah Jawa Timur dan Bandung pada 1946. Markas Besar Tentara di Yogyakarta ingin mempertahankan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bandung.
Pemimpin militer bersikeras bahwa penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia melalui jalur perang. Sementara, para poltisi lebih memilih jalur diplomasi.
Pada 20 September 1946 kesepakatan gencatan senjata antara Indonesia, Sekutu, dan Belanda gagal dicapai oleh para pemimpin militer.
Puncak kegagalan diplomasi ketiga pihak ini adalah munculnya Agresi Militer Belanda I pada 1947.
Pihak Belanda mengancam akan terus melakukan aksi militer untuk menerobos Yogyakarta, jika Indonesia menolak membentuk Uni Indonesia.
Posisi tidak menguntungkan itu membuat Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) Amir Sjarifuddin mengundurkan diri.