KOMPAS.com - Penggunaan gas air mata yang ditujukan ke tribune penonton di Stadion Kanjuruhan, Malang, diindikasi Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia sebagai penyebab tewasnya lebih dari 100 orang pada 1 Oktober 2022.
Stadion Kanjuruhan memiliki 14 tribune sekaligus pintu masuk untuk kelas ekonomi, dan satu untuk kelas very important person (VIP).
Saat kejadian itu, Tribune 10 sampai Tribune 14 di sisi selatan stadion dipenuhi lautan awan putih akibat gas air mata. Padahal di dalamnya terdapat orang tua, anak-anak, balita, dan kelompok remaja.
Apa yang dirasakan para korban gas air mata hingga bisa berpotensi kehilangan nyawa?
Dilansir dari USA Today, seorang dokter yang biasa menangani kondisi darurat, dr Robert Glatter, menjelaskan dampak yang dirasakan manusia saat terkena gas air mata.
Menurut dia, orang yang terkena gas air mata akan mengalami iritasi sel, reseptor rasa sakit di tubuhnya aktif, sehingga memunculkan rasa sakit yang membakar di mata, tenggorokan, paru-paru, kulit, dan selaput lendir.
Baca juga: Gas Air Mata Dilarang untuk Perang, Kenapa Masih Dipakai Polisi Kendalikan Massa?
Selain itu, terjadi kram otot yang berlebihan di bagian mata, kesulitan menelan, kesulitan mengeluarkan air liur, disertai rasa terbakar parah di bagian mulut.
Dalam beberapa kasus, gas air mata bisa langsung mengakibatkan kematian karena menyerang orang dengan asma dengan membuatnya sesak napas parah.
Salah satu suporter Arema FC yang menjadi korban gas air mata dan berhasil selamat bernama Tofan Zulkarnain, menceritakan upayanya menyelamatkan diri di Tribune 14.
Dia menceritakan, setelah gas air mata ditembakkan aparat keamanan, ia merasa sesak napas. Ia berusaha keluar stadion tapi tidak menemukan jalan, hingga berhasil dibawa ke rumah sakit.
"Waktu itu saya melihat ada korban lain yakni anak kecil tepat di sebelah saya. Sepertinya anak kecil itu selamat. Saya memang sulit bernapas karena gas itu," kata Tofan.