KOMPAS.com - Media sosial jadi tambang emas bagi para scammer atau penipu daring. Bagaimana tidak, media sosial jadi wadah paling mudah dan gratis untuk menjangkau miliaran orang di seluruh dunia.
Siapa saja bisa menggunakan identitas palsu, seperti yang biasa dilakukan banyak scammer untuk menipu calon korbannya.
Scammer kerap menggunakan pendekatan yang hampir mirip pengiklan sebagai modus. Mereka mempelajari detail kepribadian, kebiasaan sehari-hari, kemudian memanfaatkan data pribadi calon korban.
Informasi semacam ini bisa dengan mudah didapat di media sosial karena orang-orang dengan senang hati membagikan informasi terkait usia, minat, dan bahkan riwayat transaksi mereka secara online.
Baca juga: Tandai, Ini Daftar Hoaks Link Scam Sepanjang 2021
Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) menghimpun data kasus penipuan di ranah digital, terutama media sosial.
Sepanjang 2021, ada berbagai macam modus penipuan daring seperti investasi bodong, penipuan yang melibatkan hubungan asmara, online shoping atau online-shop, dan modus lainnya.
More than 95,000 people reported about $770 million in losses to fraud initiated on social media platforms in 2021. Losses account for about 25% of all reported losses to fraud in 2021 and represent a stunning 18-fold increase over 2017 reported losses #DataSpotlight pic.twitter.com/0IfefTSovy
— FTC (@FTC) January 27, 2022
Berdasarkan data yang dihimpun FTC, angka kerugian akibat penipuan di media sosial meningkat 18 kali lipat dalam empat tahun terakhir.
Tercatat kerugian yang ditimpulkan sepanjang 2021 mencapai 770 juta dollar atau sekitar Rp 11 triliun (kurs Rp 14.394,10).
Penipuan melalui media sosial mewakili lebih dari 25 persen dari angka kerugian akibat kasus penipuan secara umum di AS sepanjang tahun lalu.
Menurut laporan FTC, lebih dari 95.000 orang yang menjadi korban penipuan pertama kali dihubungi melalui media sosial.
Baca juga: Ini Contoh Link Phishing dan Cara Menghindarinya
Penting dicatat bahwa angka itu hanya dari data kasus yang sudah dilaporkan ke pihak berwenang. Artinya, ada puluhan ribu lainnya yang mungkin tidak melapor dan tidak terpantau.
Hanya 4,8 persen dari korban penipuan yang melaporkan kerugian mereka kepada lembaga pemerintah.
Meskipun ada peningkatan di setiap kelompok usia, orang berusia 18-39 tahun memiliki kemungkinan 2,4 kali lebih besar untuk melaporkan kasusnya dibanding mereka yang lebih tua.