Siapa saja bisa menggunakan identitas palsu, seperti yang biasa dilakukan banyak scammer untuk menipu calon korbannya.
Scammer kerap menggunakan pendekatan yang hampir mirip pengiklan sebagai modus. Mereka mempelajari detail kepribadian, kebiasaan sehari-hari, kemudian memanfaatkan data pribadi calon korban.
Informasi semacam ini bisa dengan mudah didapat di media sosial karena orang-orang dengan senang hati membagikan informasi terkait usia, minat, dan bahkan riwayat transaksi mereka secara online.
Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) menghimpun data kasus penipuan di ranah digital, terutama media sosial.
Sepanjang 2021, ada berbagai macam modus penipuan daring seperti investasi bodong, penipuan yang melibatkan hubungan asmara, online shoping atau online-shop, dan modus lainnya.
Tercatat kerugian yang ditimpulkan sepanjang 2021 mencapai 770 juta dollar atau sekitar Rp 11 triliun (kurs Rp 14.394,10).
Penipuan melalui media sosial mewakili lebih dari 25 persen dari angka kerugian akibat kasus penipuan secara umum di AS sepanjang tahun lalu.
Menurut laporan FTC, lebih dari 95.000 orang yang menjadi korban penipuan pertama kali dihubungi melalui media sosial.
Penting dicatat bahwa angka itu hanya dari data kasus yang sudah dilaporkan ke pihak berwenang. Artinya, ada puluhan ribu lainnya yang mungkin tidak melapor dan tidak terpantau.
Hanya 4,8 persen dari korban penipuan yang melaporkan kerugian mereka kepada lembaga pemerintah.
Meskipun ada peningkatan di setiap kelompok usia, orang berusia 18-39 tahun memiliki kemungkinan 2,4 kali lebih besar untuk melaporkan kasusnya dibanding mereka yang lebih tua.
Penipuan paling marak di media sosial
Dalam hal jumlah uang yang hilang, penipuan berkedok investasi menduduki puncak daftar FTC.
Mayoritas penipuan semacam ini melibatkan investasi cryptocurrency palsu. Penipuan juga bisa dalam bentuk pembayaran melalui kripto.
Modus lainnya yang tak kalah mengerikan adalah penipuan yang melibatkan hubungan asmara atau percintaan.
Biasanya penipu bergerak melalui aplikasi kencan. Ini adalah jenis penipuan kedua yang paling menguntungkan di media sosial.
FTC mencatat 24 persen kasus penipuan online yang melibatkan hubungan asmara sepanjang 2021. Lebih dari 33 persennya bermula dari perkenalan di Facebook atau Instagram.
Dilansir dari Investopedia, 27 Januari 2022, biasanya pelaku mengajukan permintaan pertemanan kepada korban, kemudian dengan cepat berubah menjadi hubungan romantis.
Dalam waktu singkat, pelaku akan meminta sejumlah uang dalam berbagai modus.
Ada pula kasus yang berasal dari penipuan online-shop. Meskipun tidak banyak kasus yang dilaporkan, tetapi angka kerugian yang dihasilkan mendominasi sepanjang tahun lalu.
Sebagian besar penipuan itu membuat seseorang memesan produk di online-shop, tetapi produknya tidak pernah sampai atau sama sekali tidak dikirimkan.
Seperti jenis penipuan lainnya, platform media sosial yang paling sering digunakan untuk modus penipuan ini adalah Facebook dan Instagram.
Penipuan investasi, hubungan asmara, hingga olshop menyumbang lebih dari 70 persen kerugian yang dilaporkan dari penipuan media sosial pada tahun 2021.
Berikut rincian penipuan yang paling marak di media sosial pada 2021 versi FTC:
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/02/07/154241282/kabar-data-angka-kerugian-akibat-penipuan-di-medsos-versi-ftc-as