Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aturan Baru Kemendikbud Ristek Dinilai Kembalikan Pramuka pada Posisi Semula

Kompas.com - 01/04/2024, 15:30 WIB
Erwina Rachmi Puspapertiwi,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengubah aturan perkemahan yang awalnya wajib diadakan dalam ekstrakurikuler pramuka menjadi tidak wajib diselenggarakan oleh satuan pendidikan.

Selain itu, keikutsertaan para siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka juga berubah dari wajib menjadi sukarela.

Meski begitu, Kemendikbud Ristek memastikan bahwa satuan pendidikan tetap harus mengadakan ekstrakurikuler pramuka dalam Kurikulum Merdeka.

Hal ini sesuai Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.

Baca juga: Kemendikbud Ristek Bantah Pramuka Tak Lagi Jadi Ekstrakurikuler Wajib di Sekolah


Menempatkan pramuka sebagaimana mestinya

Mantan Wakil Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, Berthold Sinaulan menilai, perubahan peraturan ini bukan hal yang perlu dipermasalahkan.

Pasalnya, pramuka masih tetap masuk ekstrakurikuler di sekolah, meski keikutsertaan peserta didik bersifat sukarela.

Menurutnya, aturan ini justru mengembalikan pramuka sebagai kegiatan nonformal.

“Malah sebenarnya peraturan menteri itu mengembalikan kepramukaan sebagai kegiatan nonformal, melengkapi kegiatan informal di lingkungan keluarga dan masyarakat, serta kegiatan formal di sekolah-sekolah," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (1/4/2024).

Berthold menuturkan, pramuka muncul di Indonesia pada 1912 sebagai kegiatan nonformal yang dilaksanakan di alam terbuka atau luar kelas.

Baca juga: Beredar Info Kurikulum Nasional Akan Gantikan Kurikulum Merdeka mulai Maret 2024, Ini Penjelasan Kemendikbud Ristek

Gerakan ini diadakan untuk melengkapi pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat, serta pendidikan formal di sekolah. Karena itu, pramuka dulu bukan kegiatan wajib.

"Ketika pada 1961 berbagai organisasi kepanduan dilebur dalam satu wadah yang diberi nama Gerakan Pramuka, sifat pendidikan nonformal itu juga tetap dilaksanakan," tambahnya.

Pada pertengahan 1970-an, pramuka menjadi kegiatan ekstrakurikuler wajib di sekolah. Saat itu, semua sekolah harus mendirikan Gugus Depan Pramuka.

Pramuka sempat tidak wajib semasa Orde Baru usai. Namun, Kurikulum 2013 diperkuat Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 menempatkan pramuka kembali menjadi ekstrakurikuler wajib.

"Ketika kepramukaan menjadi ekstrakurikuler wajib, sebenarnya hal itu baik," katanya.

Sebab, pramuka bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter siswa. Apalagi, tak ada lagi pendidikan budi pekerti di sekolah saat ini.

Sayangnya, banyak persoalan dalam pelaksanaan pendidikan kepramukaan.

Baca juga: Alasan Kemendikbud Ristek Tidak Mewajibkan Siswa Ikut Ekstrakurikuler Pramuka

Masalah pelaksanaan pramuka di sekolah

Berthold Sinaulan Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka 2018-2023.Berthold Sinaulan Berthold Sinaulan Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka 2018-2023.
Berthold menjelaskan, Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 mengatur tiga model pelaksanaan pramuka, yakni blok, aktualisasi, dan reguler.

Model blok berupa kegiatan wajib perkemahan setahun sekali. Aktualisasi berupa penerapan sikap dan keterampilan yang dipelajari dalam kelas rutin. Kedua model ini menjadi tanggung jawab guru.

Sementara model reguler, berupa kegiatan sukarela berbasis minat peserta didik dilaksanakan oleh pembina pramuka di gugus depan sekolah.

"Masalahnya, sangat kurang tenaga pendidik yang mampu memberikan pendidikan kepramukaan secara benar," tegas dia.

Berthold menyebutkan, Kemendikbud Ristek telah berusaha mengikutsertakan guru-guru dalam Kursus Pembina Pramuka Mahir Dasar. Namun, mereka gagal mengembangkan diri setelahnya.

Kondisi ini membuat pelaksanaan ekstrakurikuler wajib pramuka diadakan seadanya tanpa memedulikan mutunya.

Dia bahkan menemukan banyak sekolah tidak mengadakan pramuka, dengan para siswa yang hanya diminta memakai seragam pramuka.

"Agak sulit mengharapkan guru-guru untuk 'diubah' menjadi pembina pramuka, karena guru sudah terbebani banyak sekali materi ajar dan hal lainnya yang wajib mereka lakukan," lanjut dia.

Baca juga: Kiprah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Pencetus Istilah Pramuka dan Penerima Penghargaan Kepanduan Internasional

Kerap dijadikan ajang perundungan

Di sisi lain, Berthold tidak memungkiri ada potensi tindakan perundungan yang dilakukan mengatasnamakan kegiatan pramuka. Padahal, kekerasan fisik dan nonfisik dilarang dalam kegiatan kepanduan.

"Di kepramukaan sedunia, termasuk yang diadopsi oleh Gerakan Pramuka, ada program Safe from Harm yang mutlak diikuti dalam semua kegiatan kepramukaan," lanjut dia.

Menurutnya, tindakan kekerasan tidak diizinkan dalam setiap kegiatan kepramukaan.

Jika ada tindak kekerasan, dia mengajak publik melaporkannya ke pembina gugus depan pada pangkalan masing-masing sekolah atau ke Kwartir Pramuka terdekat.

Nantinya, pelaku akan dikenai sanksi berupa peringatan sampai pemberhentian melalui mekanisme Dewan Kehormatan Pramuka.

Atas masalah-masalah tersebut, Berthold mengimbau Kwartir Gerakan Pramuka dan Kemendikbud Ristek mampu menawarkan kegiatan kepramukaan yang bermutu dan menarik.

"Diharapkan secara tidak langsung para siswa akan mendapatkan pendidikan budi pekerti yang berguna bagi dirinya saat ini dan di kemudian hari," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com