KOMPAS.com - Setiap tanggal 10 Januari, Indonesia memperingati Hari Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat.
Penetapan tanggal 10 Januari sebagai hari bersejarah bertujuan untuk mengingatkan pada catatan Bangsa yang terjadi pada 10 Januari 1966 silam.
Pada tanggal tersebut, terjadi demonstrasi besar-besaran di Indonesia yang digerakkan oleh mahasiswa dan aktivis. Berikut sejarah Hari Tritura yang diperingati setiap 10 Januari.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Lengser, Akhir Kisah Orde Baru
Dikutip dari Kompas.com, (5/5/2023), sejarah Hari Tritura berawal ketika terjadi pergolakan kondisi politik Indonesia pada 1960-an.
Sikap anti neo-kolonialisme dan neo-imperialisme menyebabkan Indonesia kehilangan dukungan dari luar negeri, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Tidak hanya itu, inflasi turut melonjak sampai 600 persen. Puncaknya, terjadi Gerakan 30 September (G30S) pada 1965.
Kala itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dekat dengan Sukarno dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh jenderal TNI.
Sejak saat itu, kondisi politik semakin karut-marut. Sentimen anti-PKI dan anti-Sukarno terus meluas.
Memasuki tahun 1966, sejumlah aktivis dan mahasiswa memutuskan untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Mereka memprotes sikap Sukarno karena tidak berbuat banyak saat itu.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya (KABI, KASI, KAWI, KAGI) yang tergabung dalam Front Pancasila, berunjuk rasa di halaman gedung DPR-GR, pada 12 Januari 1966.
Ada tiga hal yang mereka tuntut, yang kemudian disebut Tritura, yaitu:
Sayangnya, Presiden Sukarno tidak mengindahkan tiga tuntutan tersebut. Alhasil, aksi demonstrasi terus terjadi dan meluas.
Baca juga: Profil 3 Jenderal Kurir Supersemar
Mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa secara besar-besaran pada 11 Maret 1966. Demonstrasi tersebut mendapat dukungan dari tentara.
Mahasiswa mengepung Istana Kepresidenan dan menuntut Tritura yang salah satunya meminta pembubaran PKI.
Selain mahasiswa, ada pula sejumlah tentara tidak dikenal yang diketahui mengelilingi Istana Kepresidenan.
Letnan Jenderal Soeharto yang kala itu menjabat selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) pun meminta Presiden Sukarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik saat itu. Surat perintah itu dikenal sebagai Supersemar.
Selepas Supersemar, Soeharto naik tahta memegang kekuasaan menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2 selama 32 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.